Bangsa Minahasa

Setiap bangsa yang ingin mempertahankan jati dirinya, harus menghargai warisan suci tradisi dan budaya dari para leluhurnya; Kita (bangsa Minahasa) harus memelihara dan mempertahankan tradisi dan budaya bangsa Minahasa dengan segenap kemampuan dan semangat, karena semangat itu sendiri tidak lain mengandung tradisi dan budaya Minahasa. (Dr. Sam Ratulangi: Fikiran - 31 Mei 1930)

Saya tidak akan mempermasalahkan apakah keberadaan bangsa kami Minahasa disukai atau tidak, karena itu adalah permasalahan teoritis. Bagi saya dan bangsa saya Minahasa, sudah jelas, bahwa kami memiliki hak untuk eksis.
Jadi, tugas kami adalah bagaimana menjamin kelanjutan eksistensi bangsa Minahasa ini, dan sedapat mungkin memperkecil penetrasi asing. Kami berusaha untuk merumuskan suatu tujuan yang sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan rakyat kami dalam menjalankan tugas tadi. Dan agar usaha-usaha kami itu dapat diterima dan dihargai, kita perlu mengenal hal-hal yang mendasarinya, yaitu: posisi Minahasa selama ini terhadap negara-negara sekitarnya.
("Het Minahassisch Ideaal" / Cita-cita Minahasa oleh DR. GSSJ Ratu Langie, ‘s-Gravenhage, Belanda - 28 Maart 1914)

Rabu, 17 Desember 2008

Antonetee Waroh - Anggota Parlemen Perempuan Pertama dari Sulut

Antonetee Waroh
(1901-1991)
Anggota Parlemen Perempuan Pertama dari Sulut


Nama : Anthonette Wailan Waroh
Nama populer : Oma Nett
Lahir : Airmadidi, 25 November 1901
Meninggal : Airmadidi, 9 Maret 1991

Keluarga:
- Ayah :
- Ibu :
- Saudara : Nelwan Andris Sumangkud-Waroh, Paul Luntungan Waroh, Wihelmintje Ramey Mantiri-Waroh, Anthonette Waroh, Mahdalena Tanod-Waroh, Sigar Yoram Waroh, Vitje Rensina Waroh.
- Suami : Eldad We’enas (menikah 1926, cerai 1938)
- Anak : Teddy Weenas


“Kalau kalian laki-laki tidak berani mengambil keputusan lebih baik kalian pakai kain (Kebaya) saja,” pernyataan keras ini pernah dilontarkan Anthonette Waroh, anggota parlemen perempuan pertama asal Sulut saat demo menentang pembubaran kabinet Negara Indonesia Timur (NIT).

Bahkan karakter keras, berani, tegas namun peluh welas asih yang dimiliki salah satu perempuan Tou Minahasa keturunan Toar Lumimuut ini, saat bersama Emi Saelang salah seorang pejuang dari Sulawesi, berani menentang penjajah Belanda dengan melakukan aksi mogok dalam peristiwa heroik “ Sttela Marist” sebagai bentuk protes atas penangkapan DR Sam Ratulangi di Makassar.

Kegigihannya dalam membela kaum tertindas terutama melawan penjajahan, tak perlu diragukan lagi. Pun tekad terbebas dari kungkungan kaum penjajah terus membara dalam dadanya, dengan terus memberikan motivasi, spirit pada Wolter Monginsidi ketika ditahan Belanda menjelang eksekusi.

Perjuangannya, memang nyaris terlupakan dari putaran sejarah bangsa. Perempuan tangguh yang terlahir di Airmadidi, 25 November 1901 silam itu, telah menorehkan semangat kebangkitan kaum perempuan Tou Minahasa dan Tou Indonesia ketika menjadi utusan parlemen NIT bersama Andy Patopoy bertemu Sultan Hamengkubuwono IX dalam misi bergabungnya NIT ke Negara RI.

Nah !, setelah misi bergabung dengan RI sukses, Anthonette diangkat menjadi anggota parlemen RIS dan ikut mengambil bagian dalam keputusan-keputusan penting, seperti penetapan Garuda Pancasila sebagai lambang Negara RI, hingga akhirnya pensiun sebagai anggota DPR dikeluarkan presiden yang ditandatangani Mohammad Hatta pada tahun 1957.

Sudah berakhirkah perjuangannya? Ternyata belum, sebab bersama rekan –rekan perempuan lainnya, dia, aktif di KOWANI dan Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT) yang didirikan Maria Walanda Maramis.Dan pada tahun 1972 Anthonette Waroh menjadi Ketua PIKAT Pusat. Bahkan dimasa tuanya, Oma Net, begitu dia disapa oleh warga Airmadidi, masih dipandang sebagai seorang politisi, banyak warga disekitar menyebutnya dengan sebutan Oma Parlemen hingga ajal menjemputnya pada 9 Maret 1991.

“ Negara yang besar adalah Negara yang menghormati jasa pahlawannya. Anthonette sangat pantas diusulkan menjadi pahlawan nasional, “ ujar wakil gubernur Freddy Harry Sualang menilai Srikandi asal Tonsea ini dalam sambutannya pada acara bedah profil Anthonette Waroh di Balitka Watutumou Minahasa Utara (Minut) Kamis (27/04).

===================================

Anthonette Wailan Waroh, demikian nama lengkapnya. Dia adalah seorang pejuang perempuan yang telah menorehkan sejarah bagi bangsa Indonesia, namun jasanya hampir saja dilupakan dan nyaris hilang ditelan waktu. Lahir di Airmadidi, 25 November 1901 silam dan melewati masa kecil dengan didikan disiplin sang orang tua. Hidup dalam keluarga yang harmonis. Sebagai anak ke 4 dari 7 bersaudara membuat Oma Nett (demikian oma sering disapa) semakin tertarik dengan dunia pendidikan.

Kakak tertuanya bernama Nelwan Andris Waroh. Ketika menikah menjadi keluarga Waroh-Sumakud dan salah satu cucu dari Opa Nelwan ini yakni Bapak Moes Lengkong, Kepala Dinas Kehutanan Pemprov Sulut. ‘’ Saya tidak begitu tertarik dengan dunia politik, makanya ketika oma Nett bercerita tentang masa-masa dimana dia berkarya di bidang Politik, saya tak begitu berminat mendengarkan informasi dari Oma,’’demikian pernyataan Moes.

Kakak kedua, Paul Luntungan Waroh (Keluarga Waroh Tikoalu). Ketiga, Wihelmintje Ramey Waroh ( Mantiri-Waroh), kemudian ke empat Anthonette Waroh, ke lima Mahdalena Waroh (Tanod-Waroh), ke enam Sigar Yoram Waroh dan si bungsu Vitje Rensina Waroh

Setelah usai sekolah dan berumur 16 tahun (tahun 1915-1919), Anthonette mengambil keputusan untuk mengenyam pendidikan di Sekolah Guru Belanda di Ambon. Dengan bermodalkan sekolah guru tersebut, Anthonette menjadi guru di Sasaran, sekarang Tondano dan kemudian tahun 1926 menikah dengan Eldad Weenas. Karena ketekunannya mengajar para murid, oleh lembaga sekolah, Ibu Anthonette ditunjuk sebagai penilik sekolah.

Selama 13 tahun berkeluarga, Anthonette dan Eldad dikarunia seorang anak laki-laki, bernama Teddy Weenas. Kehidupan keluarga Athonette rupanya harus menghadapi pergumulan yang berat dan tahun 1938, Anthonette bercerai dari suaminya Eldad Weenas dan pindah ke Blitar. Tahun 1941, Anhonette menjadi guru di Ujung Pandang (sekarang Makassar) dan mulailah benih-benih politik tumbuh dibenaknya. Anthonette juga ikut bersama-sama dengan Sam Ratulangi pergi ke Bone untuk mengajar disana.

Karena kiprahnya di bidang politik, Anthonette di angkat menjadi salah satu anggota Parlemen NIT (Negara Indonesia Timur). Dalam pergaulannya di kancah politik, Anthonette dikenal sebagai anggota Parlemen yang konsern terhadap perjuangan perempuan dan pendidikan. Bahkan pada satu kesempatan, Anthonette pernah mengeluarkan statemen pedas bagi rekan-rekannya sesama anggota parlemen, saat menghadapi saat-saat genting di parlemen, ketika demo-demo pembubaran NIT mulai bergema. “KALAU KALIAN LAKI-LAKI TIDAK BERANI MENGAMBIL KEPUTUSAN LEBIH BAIK KALIAN PAKAI KAIN (KEBAYA) SAJA”. Sindiran pedas ini mencerminkan karakter perjuangan Anthonnette yang berani dan tegas dalam bertindak.

Di Ujung Pandang, Anthonnette juga berjuang bersama Emi Saelan, seorang perempuan pejuang dari Sulawesi yang berani melawan Belanda dan ikut serta dalam pemogokan ‘Stela Marist sebagai bentuk protes dari penangkapan DR Sam Ratulangi”.

Karena berjuang bersama Ketua Parlemen NIT Arnold Manonutu untuk mengembalikan NIT ke Negara Kesatuan RI, maka Anthonette Waroh dipercayakan menjadi anggota Parlemen Repobelik Indonesia Sementara (RIS) . Bahkan ikut menjadi utusan Parlemen NIT bersama Andy Patopoy bertemu Sultan Hamengkubuwono IX di Jogya dalam hal misi bergabungnya NIT ke Negara RI.

Setelah misi bergabung dengan RI sukses, Anthonnete diangkat menjadi anggota parlemen RIS dan ikut mengambil bagian dalam keputusan-keputusan penting seperti penetapan Garuda Pancasila sebagai lambang Negara RI bersama dengan Kabinet RIS.

Berdasarka Keputusan Presiden yang ditandatangani oleh Mohamad Hatta, tahun 1957, SK pensiun DPR di terbitkan. Ini menandakan bukti dari kebenaran keterlibatan Anthonette Waroh dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Usai menjadi anggota Parlemen, aktiftas Athonette memperjuangkan hak-hak perempuan dan pendidikan masih terus berlanjut. Dia bersama-sama dengan rekan-rekan perempuan lainnya aktif di KOWANI dan PIKAT ( Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya) yang didirikan oleh Ibu Maria Walanda Maramis. Tahun 70-an (1972) Anthonette Waroh sudah menjabat sebagai Ketua PIKAT Pusat.

Dimasa tuanya di Airmadidi, Oma Nett masih di dipandang sebagai seorang politisi, banyak dari warga sekitarnya menyapa dia dengan sebutan Oma Parlemen. Namun, ketokohan perempuan Tonsea tersebut tak pernah terekpose dan bahkan hingga kini informasi tentang Om Parlemen ini tidak diketahui kalangan sejarawan dan kebanyakan masyarakat Sulut. Sudah waktunya perjuangan Om Nette di angkat kepermukaan dan diberi apresiasi. Oma Nette meninggal di Airmadidi pada 9 Maret 1991 dan dikebumikan di Pekuburan Umum Airmadidi Bawah pada 11 Maret 991

Harus diakui, data yang didapat oleh tim Panitia, masih sangat minim dan harus di telusuri kebenarannya. Tetapi informasi ini akan menjadi modal awal kita untuk melakukan penelusuran lebih lanjut. Untuk kemudian dijadikan pegangan dalam mengajukan permohonan kepada Presiden, dimana Anthonette Waroh layak diusulkan sebagai PAHLAWAN.

Ketika , semua orang luput dari infomasi soal Anthonette Waroh, Wakil Gubernur Freddy Sualang muncul sebagai pencetus idea pertama mengangkat profil Athonnete Waroh dan berkomitmen memperjuangkannya sebagai salah satu PAHLAWAN dari Sulut. ‘’ Sebelum berpulang, Oma Nett masih sempat bertemu saya dan menceritakan pengalaman politiknya saat di Parlemen. Dia adalah salah satu perempuan Sulut yang luar biasa,’’ kata Sualang.

Harapan kami, Bedah Profil Athonette Waroh ini akan menjadi motivasi bagi kita semua untuk terus berkarya dan tidak melupakan para tokoh-tokoh yang dulu berjuang. Penelusuran tentang profil Anthonette ini masih panjang. Data-data yang outentik sangat dibutuhkan untuk dijadikan acuan layak tidaknya Oma Nette di usulkan sebagai PAHLAWAN.

‘’ SUDAH SAATNYA KARYA ANTHONETTE WAROH DIBERI APRESIASI OLEH WARGA DAN PEMERINTAH SULUT.
DIA ADALAH SEORANG GURU DAN POLITISI PEREMPUAN PERTAMA DARI BUMI NYIUR MELAMBAI’’

__________________________******________________________

Panitia Bedah Profil Anthonette Waroh
Yayasan Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(YAPPA) Sulawesi Utara
Ketua: Jeane Rondonuwu
Sekretaris: Meitha Kalalo-Lantang

===================================================================
"Tabea Waya!
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan, kisah dan kedudukan kaumnya di sepanjang masa!
Minahasa adalah bangsa yang basar!
Karena itu hargai akang torang pe Dotu-dotu deng samua yang dorang kase tinggal for torang!
Pakatuan wo pakalawiren!
Sa esa cita sumerar cita, sa cita sumerar esa cita! Kalu torang bersatu torang musti bapencar, biar lei torang bapencar torang tetap satu!
I Yayat U Santi!"
===================================================================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar