Bangsa Minahasa

Setiap bangsa yang ingin mempertahankan jati dirinya, harus menghargai warisan suci tradisi dan budaya dari para leluhurnya; Kita (bangsa Minahasa) harus memelihara dan mempertahankan tradisi dan budaya bangsa Minahasa dengan segenap kemampuan dan semangat, karena semangat itu sendiri tidak lain mengandung tradisi dan budaya Minahasa. (Dr. Sam Ratulangi: Fikiran - 31 Mei 1930)

Saya tidak akan mempermasalahkan apakah keberadaan bangsa kami Minahasa disukai atau tidak, karena itu adalah permasalahan teoritis. Bagi saya dan bangsa saya Minahasa, sudah jelas, bahwa kami memiliki hak untuk eksis.
Jadi, tugas kami adalah bagaimana menjamin kelanjutan eksistensi bangsa Minahasa ini, dan sedapat mungkin memperkecil penetrasi asing. Kami berusaha untuk merumuskan suatu tujuan yang sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan rakyat kami dalam menjalankan tugas tadi. Dan agar usaha-usaha kami itu dapat diterima dan dihargai, kita perlu mengenal hal-hal yang mendasarinya, yaitu: posisi Minahasa selama ini terhadap negara-negara sekitarnya.
("Het Minahassisch Ideaal" / Cita-cita Minahasa oleh DR. GSSJ Ratu Langie, ‘s-Gravenhage, Belanda - 28 Maart 1914)

Jumat, 31 Oktober 2008

Slagbom Keluarga Besar WAROKKA

MENGENAL KELUARGA BESAR WAROKKA
Oleh Bodewyn Grey Talumewo






Opo MAMARIMBING II


Tuur dari keluarga besar WAROKKA adalah Opo Mamarimbing. Dotu Mamarimbing ini depe keturunan ja sebut sebagai Mawarimbing karena dia torang depe keturunan kenal sebagai Tonaas yang ahli ba dengar deng ba arti suara burung wara’ ato yang torang kenal sebagai burung manguni (ma’ wara’=tukang ba dengar burung wara’/manguni; warimbing=bulu leher ayam jantan / unggas).

Burung ini memang sering disebut dengan nama koko’ ni Mamarimbing (burung dari Opo Mamarimbing, koko’=ayam/unggas) karena pada waktu Pertemuan/Kongres Raya/Konferensi I di Watu Pinawetengan,yaitu waktu Opo Kopero, Mandei, Muntu-untu da pimpin tu pertemuan orang Malesung (julukan for orang Minahasa purba) for mo berbage tu tanah Minahasa jadi 4 (empat) kelompok besar (paesaan/pakasaan, yaitu Tontemboan/Tumaratas, Tombulu, Tondano/Toulour, Tonsea), tu Opo Mamarimbing I (Opo Mamarimbing tua) jadi dorang pe juru badengar burung wara’/burung Manguni.

(Perlu juga torang ketahui bahwa tu Opo Mamarimbing tua ini dikisahkan adalah anak dari Toar-Lumimuut. Depe bini pe nama Tina’atalan yang kase lahir anak Matulandi, Tasumondak, Tarumampen, kong dorang tinggal di daerah utara/barat kaki Gunung Tonderukan di Tumaratas tua, yang sekarang terletak di antara kampong Kanonang deng Tumaratas. Pemukiman tumani Tumaratas tua ini lama-kelamaan jadi besar kong ta berbage jadi dua kelompok besar, yaitu tumani “Mawale” di sablah barat deng “Tou Ure” di sablah timur)

Opo Mamarimbing II, torang pe dotu ini, hidop jaoh setelah Opo Mamarimbing tua, yaitu sekitar abad XVII. Opo (atoorang Tontemboan bilang Apo’=dewa Minahasa) Mamarimbing II lahir sekitar tahun 1630-1640 kong tinggal di daerah Tongkimbut (Kawangkoan).

Di waktu perang Minahasa melawan Bolaang Mongondow terakhir, dorang malawang Raja Loloda Mokoagow (Datoe Binangkang). Di perang ini, peranan Opo Mamarimbing/Mawarimbing sangat besar. Waktu dotu-dotu dengan para teterusan (panglima perang) dabeking konferensi/pertemuan for mo susun strategi mo hadang deng dusu tu pasukan Mongondow, Opo Mamarimbing salalu ma’ wara’ for mo dengar keputusan para Opo di kasendukan (surga). Akhir dari perang ini yaitu Raja Loloda Mokoagow deng depe pasukan torang pe persekutuan dari pakasaan Tombulu, Tonsea, Tondano deng Tontemboan pukul mundur dorang di seblah timur Tourages-Tompaso bulan Juni 1693, di mana saat itu tu musuh dorang bunung kong baker depe mayat di situ (Touracet, Tou Rages=orang yang dibakar) kong dorang pukul kalah deng dusu sampe di di sebrang kuala Poigar (poigad/pinogad=sipat, perbatasan). Dari sini tu orang Minahasa pe nama berubah dari Malesung menjadi Maesaan/Mahasa (ma’ esa= persatuan/persekutuan dari 4 pakasaan/paesaan Malesung).

Karena situasi perang ini beking khawatir tu VOC, so itu Residen VOC di Manado, Hermann Jansz Steykuyler, kase damai akang tu orang Minahasa deng Bolaang Mongondow tanggal 21 deng 30 September 1694 deng pengganti Raja Loloda Mokoagow (Datoe Binangkang), yaitu Jacobus Manoppo (anak Loloda dari seorang gadis Minahasa, Malo, asal Rumoong Bawah) bahwa perbatasan Minahasa deng Kerajaan Bolaang Mongondow ada di garis Tanjung Poigar-kuala Poigar-selatan Pontak-kuala Boeras (Buyat).

Karena depe jasa dalam perang Minahasa-Bolmong ini, Opo Mamarimbing II dapa bagian tanah for depe tanah kalakeran/pasini yang ada di sebrang kuala Ranoiapo (Rano I Apo), yaitu tanah “Kawangkoan di bawah”, yang ada di sebelah barat laut tanah “Rumoong di bawah”.

Opo Mamarimbing II mati deng kase kubur di waruga kompleks Tongkimbut (Kawangkoan) di kobong Talikuran/Kinali, yaitu di sablah timur laut kota Kawangkoan sekarang.

Waktu Opo Mamarimbing II hidop, waktu Tongkimbut tu Wolo dan pimpin sebagai Tuur im Balak sekitar tahun 1650 deng Tonaas Wangko Tuwo, tu Wolo pe anak yang depe nama Karamoij ba pisah kong kase tumani (kase badiri pemukiman) Tongkimbut Bawah (Sonder) bersama Keintjem, Pesik, Palar, Mangowal, Toporundeng.

Tonaas WAROKKA

Tonaas Warokka ini cucu dari Opo Mamarimbing, anak dari Kumaat. Dia lahir sekitar tahun 1690-1710. Waktu itu hidop Opo Wuri Muda (Wurik Sombor) yang tinggal di Kinaskas (Kakaskasen tua/Nimawanua) daerah Tombulu. Kalakuan dari Opo Wuri Muda ini dabeking dotu-dotu waktu itu jadi jengkel. Kong dorang beking pertemuan, di mana dibicarakan antara lain tentang usaha-usaha for mo atasi tu Opo Wuri Muda pe kalakuan. Tonaas Warokka bilang dia sanggup mo atasi tu Wurik Sombor ini.

Waktu sementara dabeking tu tampa pertemuan kage-kage Opo Wurik Sombor muncul kong baku mangada deng Tonaas Warokka. Nyanda brapa lama dorang bakalae kong Wuri Muda ini Tonaas Warokka kase kalah. Ini beking tu dotu-dotu waktu itu jadi heran, karena Wuri Muda adalah salah satu tonaas yang depe ilmu paling kuat waktu itu. So nyanda butul tu Warokka ini! So bukang dia pe usaha yang baku mangada deng Wurik Sombor! Wara’ oka kwa sia! So pake pengetahuan burung wara’, ngana! Jadi dorang pangge depe nama deng Wara’ Oka, kong lama-lama jadi Warokka. Depe nama lahir torang nda tau. Tonaas Warokka, so dia ini torang pe dotu, yang kase turung tu fam Warokka di Kawangkoan (Tongkimbut).

Slagbom Keluarga Besar Warokka

Generasi Ka-2: Anak-anak Opo Mamarimbing


Apo’ Mamarimbing (Mawarimbing) yang lahir sekitar tahun 1630-1640 deng depe bini Rintjambene, dapa 4 anak: Kumaat (=melihat), Tumanduk (=pelindung), De’eng (=ternama), Ka’biri (=ke kiri). Kumaat yang lahir sekitar tahun 1660-1670 dapa anak Tonaas Warokka.


Generasi Ka-3: Tonaas WAROKKA


Tonaas Warokka diperkirakan lahir sekitar tahun 1690-1710.


Masa tonaas Warokka, perkampungan Tongkimbut/Kawangkoan masih di kompleks Le’ler (Nimawanua). Sekitar tahun 1756 dorang pindah ka atas di depe sablah selatan yang skarang ada di kompleks utara kampung Talikuran.


Generasi Ka-4: PELLEH Warokka


Tonaas Warokka dapa anak Pelleh (Pelleh Warokka) yang jadi Paukum/Ukung pertama di tumani Kawangkoan-di-Bawah (Amurang). Pelleh da pimpin tu pemukiman orang-orang Tongkimbut yang mengungsi ka pante Amurang karena kena imbas Perang Tondano-Tombulu tahun 1707-1710, di mana dalam perang ini, walak Tondano dapa bantuan dari Walak Kakas deng Remboken malawang deng 3 walak kacili di Manado – Ares deng Kalawat Bawah yang dapa dukungan dari 3 Hukum Majoor Kepala Supit-Lontoh-Paat. Pelleh Warokka adalah salah satu dari dua Pelle yang diketahui dalam naskah-naskah masa Perang Tondano (Perang Minahasa di Tondano) tahun 1808-1809 pica.


Generasi Ka-5: ALANOS WAROKKA


Pelleh Warokka dapa anak Kawengian (Kawengian Warokka) yang lahir tahun 1758, yang jadi Kepala Walak (Kapala im Balak) Kawangkoan antara tahun 1845-1852 dengan gelar Majoor. Kawengian dibaptis jadi Alanos Warokka (Alanus) oleh zendeling Johann Gottlieb Schwarz. Dalam buku De Minahassa oleh Ds. Nicolaas Graafland, Kawengian Warokka suka skali mo sarani maso Kristen mar tahadang deng depe status perkawinan, yaitu dia banya bini. Depe bini resmi adalah Batjok Tumbelaka (dibaptis kemudian menjadi Johanna Tumbelaka, hidop antara tahun 1808 sampe meninggal tanggal 24 Februari 1901) deng Rintjing Talumepa. Majoor Alanos Warokka meninggal tanggal 15 Agustus 1852 saat depe umur 94 tahun.


Generasi Ka-6: Anak-anak Mayoor Alanos Warokka


Dari Johanna Tumbelaka, Alanos Warokka dapa anak Hendrik Alanos Warokka (Majoor van Kawangkoan 1861-1890), Wilhelmina Warokka (kaweng deng Daniel Mambo, Majoor van Kawangkoan tahun 1852-1859), Jansen Alanos Warokka (kembar, lahir tahun 1844 – meninggal tanggal 20 Februari 1904, Majoor Kawangkoan tahun 1890-1912), Daniel Andries Warokka (kembar, lahir tanggal 15 September 1844 – meninggal di Manado, 27 September 1912, Pakuhuismeester/Kepala Gudang Kopi Tompaso).


Dari Rintjing Talumepa, Alanos Warokka dapa anak Jeremias Warokka, Anganitji Warokka, deng Katrina Warokka.


Generasi Ka-7: Cucu-cucu Mayoor Alanos Warokka


Hendrik Alanos Warokka menikah deng Jacoba Tumangken, dapa anak Willem Henry Warokka (lahir tahun 1866 – meninggal 2 Juli 1936, Kapala Distrik/Hukum Besar Kawangkoan, menikah dua kali deng Dina Lonan, kadua deng Lefina Runtuwene [1877 – 10 Januari 1936]), Calasina Justina Warokka, Johanna Carolina Estefina Warokka, Lambertu Alanos Warokka (Hukum Besar Kawangkoan, menikah deng Esther Nicoline Sumayku), Wilhelmina Jacomina Warokka (Mien, menikah deng Exaverius Walewangko Jacob Waworuntu/Pius, Hukum Besar Sonder), Martha Adeleida Warokka (menikah deng Majoor Theodorus Estefanus Gerungan, Majoor/Hukum Besar Tomohon, mendapat anak MajoorDicky A. Th. Gerungan – Bupati Minahasa pertama), Martje Warokka, Alexander Frederik Daniel Warokka, Martha Bokky Warokka.

Wilhelmina Warokka dapa anak dari Daniel Mambo: Helena Sophia Mambo (kaweng deng Manuel Rattu), Catotje Mambo, Albertina Cona Mambo.

Jansen Alanos Warokka dapa 12 anak: Aletta Warokka, Johan Outford Warokka, Louisa Warokka, Elisabeth Warokka (kaweng deng fam Runtuwene), Quirina Warokka, Ferdinand Warokka, Albert Nyong Warokka, Frederika Reagan Warokka, Victor Jansen Warokka, Helena Warokka, Amelia Calasina Warokka, Jansen Lambertus Warokka.


Daniel Andries Warokka dapa 10 anak dari Hermina Stephina Waworuntu (H.S Wawo-Roentoe, 4 Januari 1850 – 27 Agustus 1887): ka-1 deng ka-2, ka-3 Andries Albertus Warokka, ka-4 Frederik Tumbelaka Warokka, ka-5 Johana Carolina/Uchana Warokka, ka-6, ka-7 Mamarimbing Warokka, ka-8 Arnold Warokka, ka-9 Frederik Bernard Warokka, ka-10 Alexander Warokka.
Johanis Warokka dapa anak: David Warokka.
Jeremias Warokka nintau kalu dia da dapa anak.
Anganitji Warokka kaweng deng fam Sumampouw, mungkin juga kaweng deng fam Pasla.


Katrina Warokka kaweng deng Johanis Lapian di Tondegesan, dapa anak: Israel Lapian, Jotham Lapian, Elisabeth Lapian, Maria Lapian, Petrus Lapian, Karel Lapian, Johanis Lapian.


Generasi Ka-8


Willem Henri Warokka kaweng deng Dina Lonan deng Lefina Runtuwene, dapa anak: Wilhelmina Lefina Warokka, Laurens Lao Warokka, Jan Kapean Warokka, Lina Warokka, Johanna Warokka, Jeannette Martha Warokka, Hendrik Abram Kawengian Warokka.

Wilhelmina Jacomina Warokka (Mien) kaweng deng Exaverius Walewangko Jacob Waworuntu (Pius). Pius Waworuntu ini adalah Hukum Besar Sonder untuk sementara waktu, sedangkan Mien Warokka termasuk lulusan pertama Sekolah Nona (Meisjesschool) di Kaaten –Tomohon kong jadi guru wanita Minahasa pertama di sekolah itu.

Mien Warokka dapa anak: Sarah Waworuntu (Saartje), Albert Bernardus Hendrik Waworuntu, Sr (Ventje) – Walikota Manado 1945, Hendrik Waworuntu (Diek) (1896-1977), Elisabeth Waworuntu (Eli), Etty Catharina Waworuntu (1898-1986), Beatrice Waworuntu (Atis), A.B.H. Waworuntu (Abe), Alida Waworuntu (Non) (1906-1995).


Martha Adeleida Warokka(Kawangkoan, 17 Agustus 1877 – Tondano, 1 Mei 1949) kaweng deng Theodorus Estefanus Gerungan (25 Desember 1859 – 15 November 1926). Th. E. Gerungan adalah Hukum Besar Distrik Tombasian kong jadi Mayoor Distrik Kawangkoan, terakhr Hukum Besar Distrik Tomohon-Sarongsong. Dorang dapa 6 anak: Adelaida J.M. Gerungan (Ade), Jacob H. Gerungan (Onet), Dirk August Theodorus Gerungan (Dicky), M. Jacob Gerungan, Petronella J. Gerungan (Pop), Alexander J. Gerungan (Notji).


Adelaida J.M. Gerungan (Ade) kaweng deng Moes Luhukaj, Jacob H. Gerungan (Onet) kaweng deng Frida Tumbel, Dirk August Theodorus Gerungan (Dicky) kaweng deng Totje Liem, M. Jacob Gerungan (No) kaweng deng Dien Lumanauw (nyanda ada turunan), Petronella J. Gerungan (Pop) kaweng deng fam Pongoh (nyanda ada turunan)


Alexander J. Gerungan (Notji) kaweng 3 kali: 1. Boki Alexander, 2. Zus Katuuk, 3. Onnie Mambu.


Depe anak Dicky A.Th. Gerungan adalah Bupati Minahasa yang pertama.


Slagbom/Silsilah Sampe pa Bode Grey Talumewo

Opo MAMARIMBING (Mawarimbing) (1630-…) dapa anak Kumaat deng 3 ade,
Kumaat (1660-…) dapa anak dari bini Maruwaja depe nama WAROKKA,
Tonaas WAROKKA (1690-…) dapa anak Pelleh Warokka,
Ukung Pelleh Warokka (Ukung Kawangkoan di Bawah pertama) dapa anak Alanos Warokka alias Kawengian,
Majoor Alanos Warokka (1758-1852) dapa anak dari bini Rintjing Talumepa depe nama Anganitji Warokka di Rumoong Bawah,
Anganitji Warokka dapa anak dari fam Pasla depe nama Maria Luisa Pasla,
Maria Luisa Pasla (1876-1945) dapa anak dari J. Elyas Polli (1877-1936) depe nama Sem Polli di Kawangkoan Bawah,
Sem Polli (1903-1946) dapa anak dari Meryam Sumual (1907-1989) depe nama Caroline Juliana Poli,
Caroline Juliana Poli (1940-) dapa anak dari Ariel Manuel Talumewo (1937-2005) depe nama Bodewyn Grey Talumewo (1980-).


So dia tu tuur ini blog!


===================================================================
"Tabea Waya!
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan, kisah dan kedudukan kaumnya di sepanjang masa!
Minahasa adalah bangsa yang basar!
Karena itu hargai akang torang pe Dotu-dotu deng samua yang dorang kase tinggal for torang!
Pakatuan wo pakalawiren!
Sa esa cita sumerar cita, sa cita sumerar esa cita! Kalu torang bersatu torang musti bapencar, biar lei torang bapencar torang tetap satu!
I Yayat U Santi!"
===================================================================

Sejarah Langowan


LANGOWAN, RIWAYATMU DULU

editor: Bodewyn Talumewo

MASUKNYA PENDUDUK PERTAMA DI LANGOWAN

Seperti biasanya terbentuknya suatu perkampungan penduduk (tumani) berawal dari pemukiman di suatu tempat yang awalnya hanya sebagai tempat untuk berkebun/bertani. Dan biasanya tempat perkebunan itu dinilai memiliki tanah yang subur untuk bisa bercocok tanam. Dan bagi mereka yang memiliki keterampilan sebagai nelayan, akan mencari tempat peristirahatan yang baik di kala mencari ikan. Dan syarat lainnya, yaitu tempat tersebut tidak jauh dari sumber air (mata air atau kolam). Karena biasanya manusia senantiasa membutuhkan air untuk minum, memasak atau mencuci.

Dari penelitian sejarah desa serta cerita turun temurun yang dapat dipercaya, dan juga bukti­-bukti sejarah lainnya (seperti pekuburan tua) maka masuknya penduduk pertama di wilayah Langowan adalah bermula dari tempat yang bernama Palamba, Temboan, dan Rumbia. Ketiga tempat ini semuanya sudah menjadi desa yang definitif.

Sebelumnya terbentuknya tempat-tempat pemukiman tersebut, dalam sejarah Minahasa kita mengetahui ada pertemuan orang-orang Minahasa yang dilakukan di Pinawetengan. Kejadian itu terjadi sekitar tahun 1428, dimana tahun ini dijadikan tahun Hari Jadi Minahasa. Setelah peristiwa pembagian (Pinawetengan) ini, maka sesuai dengan kesepakatan bersama, banyak orang Minahasa mulai kembali ke tempatnya masing­masing dan ada pula yang mencari tempat baru, sebagai tempat Demikian halnya dengan orang­-orang yang berkeinginan untuk hidup di wilayah Langowan, seperti yang dikemukakan tadi. Mereka mulai mendiami Palamba, Temboan dan Rumbia.

1. PALAMBA

Kira-kira abad ke XVI, pengikut-pengikut dari Toar Lumimuut mengadakan perjalanan mengelilingi tanah Minahasa. Mereka kemudian beristirahat di Palamba yang waktu itu masih hutan rimba, dimana tempat ini menurut anggapan mereka cukup baik dan menyenangkan. Untuk tempat beristirahat mereka mendirikan gubuk dari batang pohon kayu dan daun-daunan yang menurut bahasa Tountemboan "palapa". Konon dari kata inilah pemukiman tersebut dinamakan Palapa yang kemudian berubah menjadi Palamba sampai sekarang ini.

Lama kelamaan untuk memenuhi bekal makanan, mereka mulai membuka perkebunan/huma di tempat itu. Terutama mereka menanam pisang, umbi-umbian dan sayuran. Sehingga lama-­kelamaan perkebunan itu makin luas dan orang-orang yang bermukim di stiu makin bertambah.

Dengan semakin bertambah penduduknya, maka sebagaimana tradisi orang Minahasa dalam suatu perhimpunan penduduk yang sudah cukup banyak, diperlukan seorang pemimpin. Dan oleh karena itu pada sekitar tahun 1600 sampai pada tahun-tahun berikutnya pemukiman tersebut telah dipimpin oleh para Tonaas dan Walak yang sayang sekali nama-namanya tidak diketahui lagi. Sehingga dapat dipastikan bahwa desa Palamba merupakan desa tertua di Langowan. Ini juga dapat dibuktikan dengan adanya waruga (kuburan tua/prasasti) Toar Lumimuut yang ada di sana, dan merupakan tempat pertama orang-orang yang masuk dan menetap di Langowan.


2.TEMBOAN

Berdasarkan sejarah desa Temboan, penduduk yang pertama masuk ke Temboan adalah bangsa Portugis, yaitu pada abad XVII atau sekitar tahun 1690. Konon menurut cerita, dengan tidak sengaja mereka mengambil kayu hitam yang ada di sekitar sungai Ranowangko kemudian dimuat di kapal laut. Oleh karena muatannya sudah penuh, maka kapalnya kandas dan memerlukan beberapa hari untuk keluar dari lokasi.

Pada saat itulah ada seorang di antara mereka yang bernama Luly mencari bantuan, terutama bahan makanan yang makin menipis dan berjalanlah ia menuju utara, dengan tidak melewati Palamba atau Atep. Karena waktu itu ia belum mengetahui kalau ada pemukiman di dekat lokasi tersebut. Dan sampailah ia di negeri Tompaso, dan dari sana ia mengajak orang bernama Kelung, sekaligus untuk membantu mengeluarkan kapal mereka yang kandas. Tetapi setibanya di sungai Ranowangko, kapal tersebut sudah tidak ada, atau sudah berangkat. Maka merekapun mencari tempat perteduhan/peristirahatan di sekitar lokasi tersebut. Mereka menamakan tempat itu Talawatu karena tempat itu hanya tumbuh pohon kayu hitam yang besar dan keras. Kemudian mulailah mereka membuat gubuk dari pohon kayu dan daun-daunan. dan membuka lahan perkebunan untuk ditanami t:unaman pangan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Setelah mereka merasakan lokasi pemukiman cukup baik, maka mereka mengajak saudara dan kenalan mereka untuk bermukim di tempat ini, sehingga lama kelamaan orang-orang makin bertambah, sehingga pada tahun 1829 jadilah sebuah perkampungan Talawatu yang dipimpin oleh seorang Kepala kampung bernama Tonaas Tumataw (lihat catatan harian RC. Massie tahun 1965, tahun 1922­1946 mantan Kepala Desa Amongena). Namun saat itu perkampungan ini dilanda penyakit kolera dan malaria, sehingga pada tahun 1896 penduduk di tempat ini berpindah ke lokasi baru di dataran tinggi, yaitu di lokasi yang ada sekarang (desa Temboan). Temboan berarti berada di ketinggian, atau dalam bahasa Tountemboan matembo yang berarti dari ketinggian.

3. RUMBIA

Pada mulanya sekitar tahun 1825 nelayan-nelayan dari Mongondow, Ternate, Buton, Bugis, Gorontalo dan Sangir mencari ikan Taut di Laut Maluku, sehingga di antara mereka ada yang singgah di pantai Rumbia.

Mulanya nelayan-nelayan ini karena kelelahan mereka beristirahat di tempat ini dan membuat daseng atau gubuk sebagai tempat berteduh. Oleh karena tempat ini terdapat banyak pohon rumbia yang tumbuh di rawa-rawa, maka mereka mengambilnya untuk dijadikan atap daseng/gubuk. Oleh karena pohon rumbia ini banyak manfaatnya,seperti daun dan tangkainya dapat digunakan untuk atap dan isi batangnya bisa dibuat sagu, maka akhirnya tempat peristirahatan itu dinamakan Rumbia.

Lama-kelamaan orang-orang yang dulunya beristirahat di situ, mulai tinggal menetap, dan jumlahnya makin bertambah. Mereka yang juga dulunya tinggal di Palamba dan Atep, sebagiannya mulai menetap di Rumbia, dan akhirnya menjadi perkampungan. Pada tahun 1854 perkampungan ini telah dipimpin oleh seorang Kepala Kampung bernama Albert Mawuntu yang berasal dari negeri Atep, dan ia merupakan Kepala Kampung yang pertama.

PERKAMPUNGAN/NEGERI MULA-MULA

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa masuknya penduduk pertama di Langowan adalah di perkampungan Palamba pada abad XVI atahu tahun 1500­an. Kemudian orang-orang dari Palamba tersebut pada waktu mereka pulang-pergi, diantaranya menghadiri musyawarah di Watu Pinawetengan, mereka singgah dan melihat lokasi Mawale (sekarang sebagian wilayah desa Tounelet) baik untuk perkebunan. Maka pada akhir abad XVII atau tahun 1600-an mereka datang bermukim di sana dan membuka perkebunan baru di tempat itu.

Selain penduduk dari Palamba, konon orang-orang yang setelah mengikuti perang Minahasa-­Mongondow pada tahun 1683 sebagian tidak kembali ke negeri asalnya, tetapi kemudian datang menetap di Mawale. Oleh sebab itu setelah pemukiman Mawale ini penduduknya makin bertambah, maka mulailah mereka mencari lokasi perkebunan yang baru dan pada tahun 1806 mereka mulai membuka pemukiman baru di Walantakan dan Waleure. Negeri Walantakan pada tahun 1806 dipimpin oleh Kepala Kampung Makaware/Wakarewa. sedangkan kampung/negeri Waleure dipimpin oleh Waraney.

Berdasarkan penelitian sejarah, maka didapati bahwa dari pemukiman Mawale inilah yang dominan terdapat penyebaran penduduk, sehingga muncul pemukiman-pemukiman baru lainnya di Langowan. Dari 29 desa di Langowan sekarang ini, sebagian besar (sekitar 24) desa awalnya dari pemukiman Mawale. Sementara empat desa lainnya, yaitu Atep, Palamba, Rumbia dan Temboan sudah lebih dulu berdiri. Mengenai asal-usul Palamba, Rumbia dan Temboan sudah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan Atep terbentuk dari kedatangan orang Palamba yang mulai menetap di sana sejak tahun 1780, yang awalnya juga membuka perkebunan.

Dari gambaran di atas dapatlah disimpulkan bahwa perkampungan negeri mula-mula di Langowan adalah sebagai berikut:
  1. Palamba, pemukiman sekitar abad XVI atau tahun 1500­-an, dan kemudian menjadi kampung/negeri sekitar abad XVII atau tahun 1600-an,mulai dipimpin oleh seorang Tonaas yang belum diketahui jati dirinya.
  2. Temboan, pemukiman tahun 1690. kepala kampung/negeri yang pertama Tonaas Tumataw.
  3. Atep, pemukiman sekitar-tahun 1768 memilih suatu lokasi di dataran rendah dan menjadi kampung/negeri tahun 1780 dengan kepala kampung/Tonaas Reppi.
  4. Walantakan, pemukiman tahun 1806, kepala kampung/negeri Makarewa. Dibuktikan dengan adanya waruga (kuburan tua) yang ada di Walantakan.
  5. Waleure, pemukiman tahun 1806, kepala kampung/Walak Waraney.


ASAL-USUL NAMA LANGOWAN

Pada umumnya seseorang atau kelompok dalam memberikan nama kepada suatu obyek, apakah itu manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, tempat atau obyek lainnya, biasanya selalu mempunyai arti atau kenangan/kesan tertentu. Pemberian nama tersebut dapat saja berupa kenangan atau kesan masa lalu, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan (kepahitan/penderitaan). Atau juga berkaitan dengan harapan masa yang akan datang, maupun berkaitan dengan komunikasi
biogenetics. Pemberian nama ini didasarkan pada aetiologis dan saga. Aetiologis (dalam bahasa Yunani artinya keterangan atau sebab), yang ceritanya tidak hanya menerangkan asal-usul, tetapi juga menerangkan hal lain, sedangkan saga adalah cerita turun temurun yang berisi tentang perjalanan individu/kelompok, dan juga norma-norma yang berlaku terhadap individu/kelompok bersangkutan.

Secara etimologis (sejarah asal-usul kata), Langowan berasal dari kata
rangow (bahasa Tountemboan) yang berarti lobang. Rangowan (berlobang) dalam hal ini bukan pada gunung, tanah, atau bench lainnya, tapi maksudnya berlobang pada bagian pokok kayu. Konon kayu yang berlobang itu, terletak di tengah pusat kota seperti sekarang ini, yaitu tepat di Gereja GMIM Sentrum (Jemaat Schwarz) sekarang.

Di Langowan pada masa itu memang banyak ditumbuhi pepohonan dan tanaman lainya. Di antaranya pohon
we'tes (pohon beringin). Di batang pohon inilah terdapat lobang tersebut. Dan di pohon ini pulalah menjadi pusat penyembahan orang-orang Langowan kepada dewa-dewa (opo-opo), termasuk juga kepada Amang Kasuruan atau si Apo Wanandangka. Dan karena pohon ini dianggap keramat, maka ditempat ini pula dibuat tempat pasoringan. Pasoringan berasal dari kata soringan yaitu alat bunyi yang dibuat dari sebilah bambu (wulut), semacam pipa yang diberi 7 lobang. Apabila dihembuskan angin atau ditiup akan mengeluarkan bunyi. Bunyi tersebut analog dengan bunyi burung Wala'. Jadi Pasoringan berarti tempat memanggil/mendengarkan bunyi burung Wala' oleh para Walian dan Tonaas. Walian adalah para pemimpin agama (Alifur/ agama suku Minahasa). Sedang para Tonaas adalah pemimpin pemerintahan, pertanian, keamanan dan lainnya. Di tempat pasoringan inilah para pemimpin tersebut di atas bertanya dan mendengarkan jawaban, ya atau tidak tentang sesuatu maksud yang ditanyakan. Atau untuk mengetahui apakah yang akan terjadi di hari-hari selanjutnya. Bunyi burung Wala' ini diartikan/diterjemahkan secara bersama-sama oleh Walian dan para Tonaas.

Pada pohon we'tes yang berlobang ini, selain tempat mendengarkan bunyi burung, juga sebagai tempat pareghesan (tempat membawa persembahan/ sesaji). Dengan pengertian, bahwa di tempat inilah mejadi pusat kegiatan keagamaan dan pemerintahan.

Caranya ialah para Walian bersama umat datang berkumpul untuk memuja para opo dan si Amang Kasuruan, dengan membawa sesajian/persembahan (raghesan). Sedangkan para Tonaas menggunakannya sebagai tempat pertemuan rakyat untuk mendengarkan perintah atau aturan yang harus dilaksanakan. Dan biasanya perintah itu dilakukan melalui palakat/pengumuman:
ma umung asi we'tes rangow.

Orang yang bermaksud berkumpul untuk membawa persembahan dan memuja serta mendengarkan perintah, awalnya dari mereka bermukim di Mawale (kini bagian kiri dari Desa Tounelet), yang terletak di bagian selatan pohon tersebut. Jaraknya dari pohon we'tes rangowan itu kira-kira 600 depa.

Ketika para pendatang dari Eropa mulai menginjakkan kakinya di Langowan, merekapun mulai mendengar ucapan kata
rangow tersebut. Dan oleh karena orang Eropa kurang mampu menyebut huruf "r" dengan jelas, maka sebutan rangow menjadi langow, dan juga rangowan, menjadi langowan. Lama kelamaan akhirnya tempat itu beserta penduduknya disebut dengan Langowan, sampai pada saat ini.

Namun sumber lain juga mengungkapkan bahwa kata langow berasal dari kata
lagow yang artinya anoa. Karena konon di Langowan dulunya banyak binatang khas Sulawesi tersebut.

Pertengahan abad XVIII penduduk makin bertambah, maka terjadilah migrasi dari pemukiman Mawale ke utara dan ke timur, serta ke tempat lainnya. Maka mereka yang ke utara membentuk pemukiman baru, sehingga muncullah kampung Waleure, yang ke kampung Amongena dan Wolaang. Dan yang dari Waleure ada yang ke barat daya, menjadi kampung Koyawas. Zaman dimana penduduk pertama hidup di Langowan selanjutnya berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda.

Kedatangan J.G. Schwarz di Langowan membawa perubahan yang besar, khususnya berkaitan dengan hidup keagamaan orang Langowan, dan orang Minahasa umumnya. Di Langowan khusunya, pusat penyembahan agama Alifuru (
raghesan dan tempat bertanya pada burung), diubahnya menjadi pusat pelayanan Kristiani (Nasrani). Di tempat itulah Schwarz mendirikan gereja sebagai tempat peribadatan kepada Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus. Tempat peribadatan itu masih berdiri sampai sekarang, yaitu Gereja Sentrum (Jemaat Schwarz) langowan).

SEJARAH PEMERINTAHAN DI LANGOWAN

Sebagaimana telah dituturkan sebelumnya, di Langowan awalnya penduduk bermukim di Palamba, Rumbia, Temboan dan Mawale. Khusus yang mendiami Mawale, kemudian sebagiannya membuka perkebunan baru dengan berpindah tempat, sehingga membentuk pemukiman baru, seperti Waleure, Walantakan, Amongena, Wolaang dan lainnya.

ebelum tahun 1828 sudah ada sekitar 5 tempat pemukiman, yaitu Mawale, Waleure, Walantakan, Palamba dan Talawatu (kemudian menjadi Temboan). Pemukiman­pemukiman itu masing-masing dikepalai oleh seorang Tonaas. Dan kepala-kepala dari para tonaas ini adalah seorang Walak (kepala suku). Para Walak yang disebut-sebut pernah memimpin adalah: Rambijan, Robot, Tumbaijlan dan Tawaijlan.

Tahun 1829 Fiskal Irot diangkat menjadi Major dalam jabatan Kepala Distrik oleh Residen Manado Peternat. la memerintah sebagai Hukum Besar mulai 1829 hingga 1841. Pada saat itu perkampungan baru terus bermunculan, yaitu Amongena, Wolaang, Koyawas, Tounelet dan Atep. Sehingga tercatat ada sembilan kampung. Dan setiap desa dipilih dan diangkat Hukum Tua.

Tahun 1841-1847 A. Tendap Saerang menjadi Hukum Besar, dan Bastian Thomas Sigar diangkat menjadi Hukum Kedua oleh Residen Cambier dan Opzier Tondano Benseijder.

Pada Pebruari 1848 Bastian Thomas Sigar diangkat menjadi Major/Hukum Besar oleh Resident Van Nolpen, sedangkan P. Kumolontang menjadi Hukum Kedua. Tahun 1852 N. Pandeirot juru tulis Wolaang diangkat menjadi juru tulis Distrik oleh Resident Scherjas.

Tahun 1853 P. Kumolontang meninggal, dan digantikan oleh Laurenst A. Sigar. Tahun 1854 bertambah satu kampung, yaitu Rumbia. Jadi sudah ada 10 kampung. Tahun 1861 Conteleur Riedel di Tondano mengangkat N. Pandeirot menjadi Hukum Tua Walantakan, Paulus Saerang Hukum Tua Waleure dan Benyamin Sigar Hukum Tua Amongena.

Januari 1870 L.A Sigar diangkat menjadi Majoor/Hukum Besar oleh Resident Deance, dan Desember 1870 N. Pendeirot diangkat menjadi Hukum Kedua. Bersamaan dengan itu pemukiman di Tumaratas menjadi kampung.

Sejak 1870-1884 ketika L.A Sigar sebagai Hukum Besar, rakyat diperintah menanam kopi. L.A Sigar meninggal 2 Mei 1910 (kuburnya ada di Tompaso).

Pebruari 1884 N. Pandeirot diangkat menjadi Majoor/Hukum Besar oleh Residen Jansen, sedangkan Hukum Kedua tidak lagi diangkat. Pandeirot bertugas hingga 1891. Di waktu pemerintahan N. Pandeirot bertambah satu kampung, yaitu Lowian (1887). Jadi sudah ada 12 kampung/desa.

Selanjutnya N. Pandeirot digantikan oleh Major Nicolaas E. Mogot yang sebelumnya Hukum Kedua Remboken dan Kakas. Sedangkan Hukum Kedua diangkat R. Maringka/W. Warokka oleh Residen/Conteleur Adam. Pada masa N. Mogot memerintah, bertambah beberapa kampung, yaitu Sumarayar (1888), Karondoran (1898), Walewangko (1898), Manembo (1899), Teep dan Paslaten (1900). Sehingga menjadi 19 kampung/desa.

Tahun 1904-1911 Hukum Besar Ever Gradus Mogot dan Hukum Kedua Palengkahu. Bertambah satu desa, Noongan. Sehingga menjadi 19 desa.

1912-1919 Hukum Besar A.W. Ingkiriwang dan Hukum Kedua Sahelangi/J. Loho Sesudah 1919 maka negeri Langowan menjadi onder-distrik. Tahun 1920 bertambah desa Tempang, sehingga Langowan menjadi 20 desa. Mulai 1922 Hukum Tua tidak lagi ditunjuk tapi dipilih.

1923-1926 Wakary menjadi Hukum Kedua.

1926-1930 Masa P. Pandeiroth kedua, bertambah desa Winebetan.

1930-1935 W. Momuat Hukum Kedua.

1935-1937 B.C. Lasut Hukum Kedua.

1937-1940 G.P.A. Wenas Hukum Kedua.

Pada waktu pendudukan Jepang (Perang Dunia II), No' Mogot diangkat menjadi gunco (Hukum Besar). Bertambah desa Karumenga (1942).
1941-1943 No'Mogot Hukum Besar.

1943-1946 B.Lapian Hukum Besar.

1946-1949 A.R. Warouw Hukum Kedua. Bertambah desa Raringis (1946), desa Taraitak dan Ampreng (1947).

1949-1951 Lumanauw Hukum Kedua. Bertambah desa Kaayuran Atas (1950).

1951-1953 A. Wenas Hukum Kedua.

1953-1954 A. Tambajong Hukum Kedua. Bertambah desa Toraget (1954)

1955 M.H.W. Dotulong Hukum Kedua

1956 A. Kumolontang Hukum Kedua

1957 P.V. Kembuan Hukum Kedua

1957-1958 H.D.N Massie Hukum Kedua.

1958-1959 J.A. MonintjaHukum Kedua

1960-1962 R.C. Assa Hukum Kedua

1962-1966 A.J. Malonda Hukum Kedua

1966-1967 W. Tamengkel, BA Hukum Kedua

1967-1970 N.J. Rumengan Hukum Kedua

1970-1977 H.D.N. Massie Hukum Kedua/Camat

1977-1983 J.F. Lalujan Camat. Desa Amongena dimekarkan menjadi dua (Amongena I dan Amongena II) sesuai SK Gubernur No. 28 tanggal 28 Desember (Amongena II jadi definiti fl. Jumlah desa menjadi 28.

1983-1987 F. Mangundap, BA. Camat

1987-1990 Drs. F.H. Tampi, Camat

1990-1993 Drs. P. Besouw, Camat.

1993-1996 Drs. S.E. Tambajong, Camat

1996-1999 Drs. S.W.Z. Poluan, Camat

1999-2001 Drs. Johan Watti, Camat

2001-2002 Drs P.D. Sumampouw, Camat. Kecamatan Langowan dimekarkan menjadi dua kecamatan pada 5 November 2001 (kecamatan Langowan Timur dan Kecamatan Langowan Barat). Desa Kopiwangker bertambah (2002).

Dengan pemekaran tersebut Langowan Timur memiliki 15 desa, dan Kecamatan Langowan Barat 14 desa.
Ke-15 desa di Langowan Timur adalah Amongena I, Amongena II, Wolaang, Waleure, Tempang, Toraget, Karumenga. Sumarayar, Karondoran, Teep, Atep, Manembo, Palamba, Rumbia dan Temboan. Sedang 14 desa di Kecamatan Langowan Barat adalah Nonongan, raringis, Ampreng Tumaratas, Taraitak, Walantakan, Paslaten, Koyawas, Lowian, Walewangko, Tounelet, Winebetan, Kayuran Atas dan Kopiwangker.

2001-sekarang Drs. P.D. Sumampouw, Camat Langowan Timur

2001-... Drs. Alex Slat, Camat Langowan Barat

LANGOWAN DALAM SEJARAH

Nama Langowan sudah sangat dikenal, baik di Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia, bahkan sampai di luar negeri. Terkenalnya Langowan berkaitan dengan sejarah, baik berkaitan dengan demografi, geografi, agama (penginjilan) maupun hal-hal lain yang terkait dengan budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya.

Terkenalnya Langowan, bahkan sampai di luar negeri, berhubungan dengan hadirnya orang-orang Langowan di berbagai tempat, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Beberapa waktu lalu harian Manado Post memberitakan bahwa orang Minahasa yang berada di Amerika Serikat terbanyak adalah orang-orang yang berasal dari Langowan. Di berbagai tempat di Indonesia dan juga di luar negeri pun orang-orang Langowan selalu membentuk perkumpulan negeri dengan nama
Rukun Langowan.

Nama Langowan sebagaimana banyak ditulis berasal dari kata "
rangouw". Kata rangouw ini untuk menunjuk kayu besar berlubang yang dulunya terletak di tengah kota Langowan, yaitu di Gereja Sentrum (Jemaat Schwarz) sekarang. Kayu berlubang itu dalam bahasa Tountemboan disebut dengan rangouw. Dalam penuturan sejarah, oleh karena orang Belanda dan juga orang Eropa lainnya tidak bisa menyebut huruf "r" dengan jelas, maka sebutan rangouw yang terdengar adalah "langouban". Dan dari kata "langouan" itulah akhirnya menjadi kata Langowan.

Sebelum muncul kata Langowan, ada pula tulisan yang menyebut dengan sebutan Langouban. Hal ini dapat dilihat dari sejarah ketika terjadi perjanjian antara VOC dan bangsa Malesung dalam naskah 10 Januari 1679/10 September 1699.


Diedit dari majalah Duta Minahasa terbitan Okt/Nov 2003.

===================================================================
"Tabea Waya!
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan, kisah dan kedudukan kaumnya di sepanjang masa!
Minahasa adalah bangsa yang basar!
Karena itu hargai akang torang pe Dotu-dotu deng samua yang dorang kase tinggal for torang!
Pakatuan wo pakalawiren!
Sa esa cita sumerar cita, sa cita sumerar esa cita! Kalu torang bersatu torang musti bapencar, biar lei torang bapencar torang tetap satu!
I Yayat U Santi!"
===================================================================

Sabtu, 25 Oktober 2008

Pahlawan Bangsa Minahasa: Menumpas Perang Jawa (1825-1830) - Menangkap Pangeran Dipa Negara (Diponegoro)

Naskah di bawah ini adalah tulisan rintisan untuk maksud penulisan buku dengan judul yang sama.
Anda diperkenankan mengutip/menyalin tulisan ini dengan memperhatikan hak cipta, demi hormat dan kemuliaan Bangsa Minahasa.

Pahlawan Bangsa Minahasa: Menumpas Perang Jawa (1825-1830) - Menangkap Pangeran Dipa Negara (Diponegoro) tanggal 28 Maret 1830.


Baris atas: Majoor Tololiu H.W. Dotulong (Sonder), Kapitein Benjamin Th. Sigar/Tawalijn (Langowan), Kapitein Hendrik Werias Supit (Tondano)
Baris 2: Kubur T.H.W. Dotulong di Tounelet-Sonder, kubur B.Th. Sigar di Langowan, kubur H.W. Supit di Tondano-Toulimambot
Baris 3: Groot-Majoor Bintang T.H.W. Dotulong sebelum meninggal, T.H.W. Dotulong masih muda, kubur Luitenan Thomas Poluakan di Talikuran-Kawangkoan
Baris akhir: Sekelompok pejuang muslim yang dipecundangi orang Minahasa (dengan menangkap/mengalahkan kesaktian mereka oleh para PAHLAWAN NASIONAL BANGSA MINAHASA), namun akhirnya merekalah yang mempecundangi orang Minahasa (dengan menjadikan PAHLAWAN NASIONAL BANGSA INDONESIA); Pangeran Diponegoro/Dipa Negara, Kiay Modjo, Tuanku Imam Bonjol.

Majoor Bintang Tololiu Hermanus Wilhelm Dotulong
L: Kema, 12 Januari 1795
M: Sonder, 18 November 1888


Majoor Benjamin Thomas Sigar (Tawalijn Sigar)
L: Langoan, 1790
M: Langowan, 1879

Majoor Hendrik Werias Supit
L: Tondano-Toulimambot, 1802
M: Tondano-Toulimambot, 1865

Klewang Majoor Bintang Tololiu H.W. Dotulong
Bode Talumewo memegang klewang milik Mayoor Bintang Tololiu H.W. Dotulong di Sonder,
pada 1 Oktober 2008 lalu.

Bode Talumewo di kubur Mayoor T.H.W. Dotulong di Sonder, 2 Oktober 2008.

Samua ini bukang for mo ba cari pokos-pokos (jimat). Ini cuma ekspedisi for mo cari torang pe Minahasa pe tuur deng mo cari torang pe jati diri sebagai Tou Minahasa - BANGSA MINAHASA, for mo cari torang pe kebanggaan sebagai Tou Minahasa - BANGSA MINAHASA!


===================================================================
"Tabea Waya!
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan, kisah dan kedudukan kaumnya di sepanjang masa!
Minahasa adalah bangsa yang basar!
Karena itu hargai akang torang pe Dotu-dotu deng samua yang dorang kase tinggal for torang!
Pakatuan wo pakalawiren!
Sa esa cita sumerar cita, sa cita sumerar esa cita! Kalu torang bersatu torang musti bapencar, biar lei torang bapencar torang tetap satu!
I Yayat U Santi!"
===================================================================

Senin, 20 Oktober 2008

Daftar Beberapa Orang MINAHASA yang Menjadi PERWIRA TINGGI TNI/POLRI

DAFTAR BEBERAPA ORANG MINAHASA YANG MENJADI PERWIRA TINGGI TNI/POLRI


Letjen G.H. Mantik


Letjen Arie J. Kumaat


A
Andries, Brigjen Inf. Purn TNI Purn Hubertus Johanes –Wagub Kalteng yg pertama

B
Bakary, Laksma Axel (SH)
Besouw, Laksamana Pertama Purn Yanneman

D
Dotulong, Brigjen TNI Purn Anthon Tololiu – Kabag Perbendaharaan ABRI?
Dotulong, Brigjen Pol. Purn Drs. Erald – mantan Kapolda Sulut
Dumais, Laksma Leonardo

E
Ekel, Laksamana Muda Purn Berty – Aspam KSAL, Asintel Kasum ABRI

F
G
H

I
Inkiriwang, Mayjen TNI Purn Albert – Pangdam Trikora, Taruna Terbaik Akmil

J

K
Kairupan, Mayjen TNI Glenny (MSc) – dosen Lemhamnas, Gema Sangkakala, GPIB
Kanter, Mayjen TNI Purn Empie Y. (SH) – Tokoh KRIS
Karamoy, Brigjen Pol. Purn Ventje
Kasenda, Laksamana (Madya) Purn Rudolf – KSAL 1986-1989
Katoppo, Laksamana Pertama Purn Paul
Kaunang, Mayjen TNI Purn Drs. Frans Eddy Thanos – Sekretaris Umum SUAD TNI
Kumaat, Letjen TNI Purn Drs. Arie Jeffry (SH) – Kasum TNI, Dan SESKO ABRI, Direktur Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN),
Kawilarang, Brigjen TNI Purn (Mayjen Revolusioner) Alexander Evert – Pendiri Kopassus, Panglima Operasi Pasukan di Timur Besar, Panglima TT-VII/Wirabuana yang pertama, Panglima TT-III/Siliwangi

L
Lalo, Brigjen Pol. Drs. John (MSc) – Kapolda Sulut
Lasut, Brigjen Inf. TNI Purn Willy Gayus Alexander – mantan Gubernur Sulut
Lantang, Marsda TNI-AU Purn Sylvester Ch.
Lengkey, Brigjen TNI Purn Ferdinand Potu Dotulong Ka DPD Golkar Sulut
Lonan, Laksda/Laksamana Madya TNI Purn Freds Salem – Wakil KSAL 2000
Lumintang, Letjen TNI Purn Johny J. (SH) – Pangkostrad, Dansesko ABRI, Wakasad Gubernur Lemhamnas, Sekjen Departemen Pertahanan RI 2001
Lumy, Brigjen Pol. Purn Karel Edward – Dan BRIMOB PPolri

M
Makadada, Mayjen Kav. TNI Purn Bernhard Paul – Dubes RI di Myanmar & Nepal
Malonda, Brigjen TNI Purn Ernst L.M.
Mamahit, Brigjen TNI Purn Piet
Mambu, Mayjen TNI Purn Drs. Adolf Henry – pengurus SMA Taruna Nusantara Magelang
Mambu, Laksma Mar. Purn Hendrik – Kabag Personalia - Mabes TNI-AL.
Mamuaya, Mayjen Pol. Drs. Benyamin L.S. – Kapolda Nusatenggara-Bali
Mandagi, Brigjen Pol. Purn Jeanne (SH) – wanita Indonesia pertama jadi jenderal
Manengkey, Laksma TNI Johny F.A. – Dan Guskamla Armatim.
Mangindaan, Letjen TNI Purn Evert Ernst (“Lape”) (SH, SE) – Direktur SESKOAD, Gubernur Sulut 1994-1999, Sekjen partai Demokrat
Mangindaan, Laksma TNI Purn Robert –Penasehat Militer Indonesia untuk PBB
Mantik, Letjen TNI Purn Gustaf Hendrik (Guus) – Gubernur Sulut, orang Minahasa pertama yang jadi Letjen
Mantiri, Letjen TNI Purn Herman Bernhard Leopold – Kasum ABRI, Dubes Singapura, KINGMI
Mantiri, Laksma/Laksda Purn Frits A.C. – Dan Lantamal III Surabaya, ACJ/Abe Mantiri pe anak
Maramis, Brigjen Pol Purn DR. Johan Bodewijn Paul – Ka Polantas Jakarta 1959
Masengi, Mayjen Inf. TNI Purn Christian P. – pjb. Bakorstanas
Mengko, Mayjen TNI Purn Abraham (Bram) – Atase Pertahanan RI di Manila
Mengko, Laksda TNI Purn Joost Fredrik – Aspam KSAL
Mogot, Irjen Pol. Drs. Alexius Gordon (MSi) – Kapolda Sulut, sepupu Daan Mogot
Mokoagow, Mayjen TNI Purn Oe. E. (?)
Momongan, Brigjen CZI TNI Purn Ben L.
Montolalu, Brigjen Pol. Harry – Wakapolda Sulut
Montolalu, Mayjen Pol. J.F.R. – Kadapol (Kapolda) II Sumut, Kadapol Jateng/DIY

N
Ngantung, Mayjen TNI Purn Piet – Ketua Umum KKK

O
Opit, Laksma TNI Purn Harry Bastian (S.Ip) – Danlanal Bitung 1996

P
Paat, Brigjen TNI Purn Drs. Johanes
Paat, Brigjen TNI Purn Soetopo
Paruntu, Mayjen TNI Purn Albert Thomas (S.Ip.)
Pitoy, Brigjen TNI. Purn. Ruddy L. – AMN 1968, Dandim Sidoharjo
Polla, Brigjen TNI Bob – Ketua Umum PB POR Maesa 1990-93, orang Poigar
Pongoh, Laksma Dicky M – orang Talete, Dan KRI A. Yani 1998
Pontohkukus, Marsma (Marsekal Pertama) TNI-AU Purn F.

R
Rantung, Mayjen CZI TNI Purn Cornelis John – Gubernur Sulut, Pangdam Trikora
Rarumangkay, Laksamana Pertama Purn (Freddy?)
Rawung, Laksamana Pertama Purn Ruddy (SE, MM) – Cabup Minsel 2005
Rumbayan, Brigjen Tonny Arie (MSc.)
Rumopa, Brigjen TNI Johny

S
Sakul, Brigjen TNI Jopie Winston
Salu, Laksda Jan Hendrik – Anggota DPR-RI Fraksi Karya ABRI
Sanggor, Brigjen Kav. TNI Purn Henry Johanes – Anggota DPR Fraksi Karya ABRI
Sondakh, Laksamana Bernard Kent – KSAL TNI 2002-2005
Suak, Laksamana Pertama Purn Frits – Dan KRI Dewa Ruci, Gub. Akmil ALRI
Sumampouw, Brigjen Purn Albert
Sumampouw, Mayjen Pol Purn Wim
Sumanti, Laksamana Muda Purn Frits
Sumual, Brigjen Revolusioner Herman Nicolas Ventje – Kastaf ADREV PRRI, Panglima TT-VII/Wirabuana

T
Tanos, Brigjen TNI Purn Rolly
Tanos, Mayjen TNI Purn Dr. Fransiscus Xaverius (Ph.D.) – saudara Rolly Tanos
Tinggogoy, Mayjen TNI Purn Ferry – anggota MPR-RI, Pengurus partai PKB Sulut
Tirajoh, Brigjen TNI Purn A.V.J. – Ketua Inkopad
Tompodung, Brigjen CZI TNI I.E.B.
Tumengkol, Laksda TNI Purn Broeke Eddy
Tuwaidan, Brigjen Jorry (S.Ip.) – POR Maesa, Pengurus Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK) Jakarta

U
Umboh, Mayjen TNI Purn Thomas Albert (Utu’) - Dan Rindam V Brawijaya 1992-1993, Dan Pusat Teritorium TNI-AD 1979-1983

W
Warouw, Brigjen TNI Purn Rudolf Samuel – Sekjen KONI, Pangkolaops Timtim
Warouw, Brigjen Pol Drs. Wenny – Ka. BIN & Kominda Suluttenggo
Welong, Laksma TNI Kenny – Danlantamal VI Bitung
Wenas, Brigjen Pol Purn Jos Buce – Kapolda Irja, Bupati Jayawijaya, Wagub Sulut
Wenas, Brigjen Pol. Purn Drs. Frederik (SH) – Ka Oditur Polri, ayah SY Wenas
Wenas, Irjen Pol. Drs. Sylvanus Y. – Kapolda Papua, Dan. Korps Brimob Polri
Wetik, Brigjen TNI Agustinus Reinhard – Atase Militer RI di Myanmar 1993
Worang, Mayjen TNI Purn Hein Victor (Kembi) – Bn.Worang, Gubernur Sulut
Wotulo, (Brigjen Marinir) Laksma Marinir TNI Purn Erick – pejabat Otorita Batam
Wuwung, Lasda TNI Purn Frans – Kadis Pamal TNI AL, anggota DPR/MPR 2001

X
Y
Z

Subianto, Letjen TNI Purn Prabowo – Danjen Kopassus
Sudomo, Laksamana Purn (Rawis) – Menteri, KSAL
Try Soetrisno (Supit), Jenderal TNI Purn – Wakil Presiden RI, Panglima ABRI

===================================================================
"Tabea Waya!
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan, kisah dan kedudukan kaumnya di sepanjang masa!
Minahasa adalah bangsa yang basar!
Karena itu hargai akang torang pe Dotu-dotu deng samua yang dorang kase tinggal for torang!
Pakatuan wo pakalawiren!
Sa esa cita sumerar cita, sa cita sumerar esa cita! Kalu torang bersatu torang musti bapencar, biar lei torang bapencar torang tetap satu!
I Yayat U Santi!"
===================================================================

Peranan Tou Minahasa: Profil Singkat Para Pejuang Kemerdekaan

Naskah di bawah ini adalah tulisan rintisan untuk maksud penulisan buku dengan judul yang sama.
Anda diperkenankan mengutip/menyalin tulisan ini dengan memperhatikan hak cipta, demi hormat dan kemuliaan Bangsa Minahasa.

Peranan-peranan Tou Minahasa dalam Perang Kemerdekaan RI

Profil Singkat Para Pejuang Kemerdekaan



Dr. Sam Ratulangi - Pahlawan Nasional Indonesia
Nama : Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob RatuLangie
TTL : Tondano, 5 November 1890
TTM : Jakarta, 30 Juni 1949

Sam Ratulangi atau yang biasa dijuluki “The Old Man” ini adalah cendikiawan besar Minahasa yang paling utama pada abad 20. Ia bukan sarjana ilmu pasti alam, tapi sebagai politikus yang mampu membaca situasi saat itu. Ia mendirikan dan menjadi redaktur majalah “Nationale Comentaren” 1938-1942 yang terkenal dan dengan tulisannya mempengaruhi golongan intelektual agar cinta tanah air. Ia merupakan orang Indonesia pertama yang meraih doktor dalam ilmu pasti dan alam.

Saat ia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat Hindia-Belanda) mewakili Minahasa, ia sering mengucapkan pidato yang mengecam politik pemerintah Hindia Belanda. Karena sikap non-koperatifnya, ia ditangkap pemerintah Hindia Belanda pada bulan Januari 1941.

Pada masa pendudukan, Jepang mendirikan sebuah badan bernama Pusat Tenaga Rakyat yang disingkat PUTERA. Badan ini sendiri dipimpin oleh kedua kawannya yaitu Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta. Sebenarnya badan ini akan dipimpin oleh DR. Sam Ratulangi namun ditolaknya dengan alasan ia bukan merupakan solusi untuk menjadi pimpinan dari badan yang akan menaungi suatu bangsa yang mayoritas beragama Islam serta kapasitasnya sebagai putera bangsa Minahasa yang notabene adalah bangsa yang dialergi oleh seluruh komponen masyarakat Indonesia lainnya. Perlu diketahui bahwa DR. Sam Ratulangi saat menjadi mahasiswa di Zurich Swiss, ia terpilih menjadi ketua Asosiasi Mahasiswa se-Asia, dimana sejumlah anggotanya kelak menjadi tokoh-tokoh nasional di negaranya masing-masing seperti Jawaharlal Nehru dari India, Presiden Queson dari Filipina, serta Perdana Menteri Jepang Tojo. Sam Ratulangi memang dibujuk Jepang atas perintah Perdana Menteri yang bekas teman kuliahnya itu, namun ia menolak dengan meneluarkan argumen tersebut. Ia akhirnya dipercaya membentuk badan semacam PUTERA di pulau Sulawesi bernama Sumber Darah Rakyat disingkat SUDARA.

Aktivitas politiknya semakin hebat ketika menjelang dan sesudah kemerdekaan RI. Ia sempat duduk sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) kemduian pada 18 Agustus 1945 ia diangkat menjadi Gubernur pertama Provinsi Sulawesi di Makassar. Bersama stafnya, Om Sam ditangkap Belanda dan dibuang ke Serui dan Biak Papua pada 5 April 1946. Tapi, ternyata di tempat pembuangan ia melatih para kader Papua. Tahun 1947 ia mendirikan Partai Kemerdekaan Irian dan diketuai oleh Silas Papare. Selain itu ia mendirikan organisasi “Ibunda Irian”. Pada Agustus 1948 Om Sam dibebaskan dan kembali Yogya. Namun pada bulan Desember 1948 ia dan para petinggi RI ditangkap pada saat Agresi Militer Belanda ke-2. Om Sam yang sedang sakit-sakitan meninggal dunia pada tanggal 30 Juni 1949 di Jakarta dengan status sebagai seorang tahanan musuh yaitu Belanda.



Arie Frederik Lasut - Pahlawan Nasional Indonesia
TTL : Kapataran – Tondano, 6 Juli 1918
TTM : Desa Pakem – Yogyakarta, 7 Mei 1949

Pada tanggal 16 Maret 1946 dalam usianya ke-28 tahun, ia diserahi tugas sebagai Kepala Jawatan Tambang dan Geologi RI di Bandung. Di samping itu, ia juga menjadi salah seorang pimpinan laskar KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). Ia adalah Komandan Kompi BS (Berdiri Sendiri) dalam Brigade 16 di Kesatuan Reserve Umum X.

Pada waktu itu, pihak Belanda ingin menguasai dokumen dan data tentang masalah pertambangan dan geologi di Indonesia. Arie Lasut diancam untuk menyerahkan dokumen-dokumen tersebut. Karena tidak berhasil, pihak Belanda kemudian merubah taktik dengan membujuknya dan menjanjikan pangkat yang tinggi dan gaji yang besar. Inipun tidak berhasil. Untuk menghindari ancaman dan bujukan Belanda, ia berpindah-pindah dan akhirnya pindah ke Yogya. Sedangkan dokumen-dokumen tersebut diungsikan oleh stafnya. Berbagai dokumen yang diselamatkan itu ternyata sangat berguna untuk pembangunan negara baru ini.

Ketika Belanda menduduki Yogya menduduki Yogya di tahun 1949, Arie Lasut Ditangkap dari rumahnya dan langsung dibawa ke desa Pakem. Di desa ini yang letaknya sekitar 7 kilometer sebelah utara Yogya, satu regu tembak KNIL melaksanakan hukuman tembak mati pada Arie Lasut. Ia tewas ditembak pada pukul 10 pagi tanggal 7 Mei 1949. Beberapa penduduk desa Pakem kemudian mengubur jenasah Lasut di desa itu.

Mr. Alex Andries Maramis
TTL : Paniki Bawah Manado, 20 Juni 1897
TTM : Jakarta , 31 Juli 1977

* Tahun 1943 telah duduk dalam Majelis Pertimbangan "POETERA"
* Tahun 1945 menjadi Anggota BPUPKI, kemudian dalam Kabinet Presidensial Pertama ia
menjadi Menteri Negara Kabinet RI yang Pertama tanggal Agustus – September 1945, serta
Menteri Keuangan yang kedua sejak tanggal 25 September 1945.
* Tahun 1947 dalam Kabinet ke-5 RI yaitu Kabinet Amir Sjarifuddin Pertama
sebagai Menteri Keuangan mewakili PNI
* Tahun 1947 sampai tahun 1948 dalam Kabinet ke-6 RI yaitu Kabinet Amir Kedua juga
sebagai Menteri Keuangan mewakili PNI
* Tahun 1948 sampai tahun 1949 dalam Kabinet Hatta Pertama (atau Presidentil Kabinet)
sebagai Menteri Keuangan
* Tahun 1948 sampai tahun 1949 saat Agresi Militer Belanda ke-2 duduk dalam
Kabinet Darurat dalam Pemerintah Darurat RI (PDRI) sebagai Menteri Luar Negeri.
* Tahun 1949, Mr A.A. Maramis menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh di Filipina,
kemudian menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh di Jerman,
terakhir menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh di Moskow.

Mr Maramis sering disebut sebagai “Orang Minahasa yang sering masuk kabinet RI”.

Setelah kekalahan Jepang di Pasifik mulai nampak pada tahun 1944-1945, tentara Jepang mulai memberikan janji kemerdekaan bagi Indonesia. Maka dibentuklah suatu badan yang bertujuan untuk menyelidiki kesiapan kemerdekaan Indonesia bernama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini mengadakan dua kali sidang resmi dan satu kali sidang tidak resmi yang seluruhnya berlangsung di Jakarta sebelum kekalahan kekaisaran Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Badan ini terdiri dari 68 orang dimana Mr. A.A. Maramis juga menjadi anggotanya. Setelah BPUPKI, kemudian dirubah menjadi PPKI saat telah diproklamasikannya kemerdekaan RI. Mr. Maramis adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia serta duduk dalam Panitia Sembilan PPKI. Ia juga menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berfungsi sebagai parlemen. Selain itu, saat Agresi Militer Belanda yang ke-2 pada bulan Desember 1948, Maramis ditugaskan ke India oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta untuk mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan Sjafruddin Prawiranegara dan saat itu ia menjabat Menteri Luar Negeri RI saat Soekarno-Hatta ditawan Belanda dan berhasil menghasilkan resolusi konferensi New Delhi.

Pada tanggal 22 Juni 1945 disahkan sebuah piagam yang bernama PIAGAM JAKARTA. Piagam ini disahkan oleh Panitia Sembilan dimana Mr. Maramis sendiri menjadi anggota serta turut menandatanganinya. Piagam ini berbeda dengan Naskah Pembukaan UUD 1945. Letak perbedaannya ada pada butir Pancasila yang berbunyi “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Dalam Pembukaan UUD 45, kalimat ini dirubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Mr. Maramis menjadi menteri RI sebanyak lima kali, yaitu sebagai Menteri Keuangan sebanyak empat kali, yaitu dalam Kabinet Pertama RI tanggal 19 Agustus 1945 sampai tanggal 14 November 1945, dalam Kabinet Amir Sjafruddin Pertama tanggal 3 Juli sampai tanggal 11 November 1947 mewakili PNI. Jabatan ini diteruskan kembali pada masa Kabinet Amir Sjafruddin Kedua dari tahun 1947 sampai 1948. Mr Maramis dipercayakan oleh Drs. Mohamad Hatta menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta Pertama atau yang disebut juga Presidentil Kabinet tahun 1948 sampai tahun 1949.

Tanggal 19 Desember 1948 pukul 6 pagi Belanda mengadakan Agresi Militer Ke-2 dan berhasil menawan para pemimpin negara yang dipimpin Ir. Sukarno dan Mohamad Hatta di Istana Presiden di Yogyakarta. Saat itu Mr. Maramis, L.N. Palar sedang berada di New Delhi untuk mengadakan suatu kunjungan antarnegara. Sebelum ditawan Belanda, Presiden sempat megirimkan mandat kepada Mr. Sjarifuddin Prawiranegara serta Mr. Maramis untuk mengadakan suatu pemerintahan darurat atau bila gagal, maka membentuk pemerintahan dalam pengasingan. Kemudian Mr. Sjafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI) di Bukittinggi Sumatera sebagai Pejabat Presiden dan Perdana Menteri. Mr. A.A. Maramis ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Darurat PDRI tersebut dari tanggal 19 Desember 1948 Juli 1949. Setelah semuanya berjalan normal kembali, ia pun menjadi Menteri Keuangan seperti biasanya sejak tanggal 13 Juli 1949.


Prof. Mr. Arnold Mononutu
Nama : Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu (Arnold)
TTL : Manado, 4 Desember 1896
TTM : Jakarta, 5 September 1983

1947- 1949 Anggota Parlemen NIT – Ketua Fraksi Progresif
1949-1950 Menteri Penerangan Kabinet RIS (Pertama & Terakhir) (20 Des 1949 – 6 Sept 1950)
1951-1952 Menteri Penerangan Kabinet Sukiman – Suwirjo (27 April 1951 – 3 April 1952)
1952-1953 Menteri Penerangan Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 30 Juli 1953)
1953-1955 Duta Besar RI di Peking (Beijing) Cina
1956-1959 Anggota Konstituante RI
1960-1965 Rektor Universitas Hasanuddin

Di masa ia menjadi mahasiswa, ia menjadi aktivis gerakan kemerdekaan di Eropa. Saat itu ia menjadi “Duta” Indonesia di Eropa Barat.
Saat Belanda mendirikan Negara Indonesia Timur, ia menjadi anggota Parlemen NIT. Ia lalu memprakarsai untuk memimpin suatu Misi Parlemen atau “Goodwill Mission” Parlemen NIT ke Yogyakarta yang pada waktu itu menjadi Ibukota Republik Indonesia Serikat. Ia langsung mengadakan kontak dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Berkat jasa dan peranannyalah maka akhirnya NIT bubar dan Indonesia Timur bergabung dengan NKRI.

L.N. Palar (alias Babe Palar)
Nama : Lambertus Nicodemus Palar
TTL : Rurukan – Tomohon, 5 Juni 1900
TTM : Jakarta, 13 Februari 1981

- Tahun 1947 : Pada saat pecah perang antara tentara kolonial Belanda dengan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, ia mengundurkan diri sebagai anggota Parlemen Negeri Belanda.
- Antara tahun 1947-1950 : diangkat oleh Pemerintah Republik Indonesia menjadi Juru Bicara RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia memperjuangkan kedaulatan Kemerdekaan Indonesia di depan Dewan Keamanan PBB.
- Tahun 1950 memimpin misi ke Moskow untuk mendesak pemerintah Uni Sovyet agar tidak mem-veto usul masuknya Republik Indonesia menjadi anggota baru PBB.
- Setelah misi berhasil, Indonesia menjadi anggota baru PBB yang ke-60 pada tahun 1950.
- Antara tahun 1950-1953 diangkat menjadi Wakil Tetap RI yang pertama dengan pangkat Duta Besar untuk PBB.

L.N.Palar, atau Nico Palar, adalah sosok negarawan Indonesia asal Minahasa, sebagai seorang Kawanua tulen, mantan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh. Dia seorang Duta Besar profesional atau karir yang luar biasa dan berkuasa penuh di pusat-pusat dunia yang serba berat, yaitu di PBB dua kali, New Delhi India, Bonn Jerman, Moskow Uni Soviet, Ottawa Kanada, dan Washington Amerika Serikat sejak tahun 1947 hingga tahun 1970.

Sejak tahun 1936 ia berada di Belanda dan setelah Perang Dunia ia menjadi Anggota Parlemen negeri Belanda untuk mewakili Partai Buruh Belanda. Pada tahun 1947 ia pergi ke Indonesia bersama-sama orang Indonesia dalam rombongan besar pulang ke Indonesia dari Eropa untuk membantu perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia

Sebagai Anggota Parlemen Belanda, dia diterima dengan protokol yang sewajarnya oleh Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Sutan Syahrir dan Wakil Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim kemudian diterima oleh Presiden Soekarno. Semula, dia datang ke Indonesia dengan maksud hanya sekedar meninjau keadaan Indonesia atas nama Partai Buruh Belanda. Namun pertemuannya dengan Sukarno mengubah maksudnya itu.

Tahun 1947 itu juga ia mengundurkan diri sebagai anggota Parlemen Negeri Belanda dan diangkat oleh Pemerintah Republik Indonesia menjadi Juru Bicara RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia memperjuangkan kedaulatan Kemerdekaan Indonesia di depan Dewan Keamanan PBB.
Tahun 1950 ia memimpin misi agar Indonesia bisa menjadi anggota baru PBB yang ke-60 pada tahun 1950. Kemudian tahun 1950-1953 ia diangkat menjadi Wakil Tetap RI yang pertama dengan jabatan Duta Besar untuk PBB.


Robert Wolter Mongisidi - Pahlawan Nasional Indonesia
Nama : Robert Wolter Mongisidi (Bote)
TTL : Malalayang, 14 Februari 1925
TTM : Makassar, 5 September 1949

Pada masa pendudukan Jepang dia mengajar di Malalayang dan Liwutung – Ratahan. Kemudian tahun 1944 menjadi guru di Luwuk-Banggai Sulawesi Tengah dan tahun 1945 menjadi pegawai sipil kepolisian Jepang di Makassar.

Tahun 1945 ia menjadi Sekretaris LAPRIS (Laskar Pejuang Republik Indonesia Sulawesi) dibawah pimpinan Ranggong Daeng Romo di Sulawesi Selatan. Ia merupakan ekstrimis Indonesia yang paling dicari-cari oleh tentara NICA-KNIL. Ia sering mengadakan memimpin serangan gerilya terhadap kedudukan pasukan KNIL dan tentara elit baret hijau pimpinan Kapten Raymond Westerling. Karena prestasi ini dia menjadi populer di kalangan rakyat Sulawesi Selatan. Komentar Westerling terhadap Wolter Mongisidi beberapa puluh tahun kemudian adalah : “...Wolter Monginsidi, dia pintar berkelahi namun ia bukan penjahat. Saya pernah bertempur melawan dia.”

Ia dua kali tertangkap oleh Belanda. Pertama tanggal 28 Februari 1947 namun berhasil melarikan diri dari tahanan. Tanggal 26 Oktober 1947 ia tertangkap untuk yang kedua kalinya dan tempat ia ditahan pun dijaga ketat agar ia tidak dapat melarikan diri lagi. Saat Indonesia diambang pengakuan kedaulatan oleh Belanda tahun 1949, ia didesak oleh berbagai organisasi, pemerintah Indonesia, pemerintah NIT agar ia diberikan grasi dan dibebaskan. Namun pemerintah NICA menolak membebaskannya. Akhirnya, tiga bulan sebelum pengakuan kedaulatan itu, tanggal 5 September 1949, ia ditembak mati di hadapan regu tembak tentara NICA-KNIL. Saat ia ditembak mati di hadapan regu tembak, ia meminta untuk tidak diikat kedua tangannya, dan sambil memegang Alkitab dan berdoa, kemudian ia ditembak mati. Di dalam Alkitab tersebut didapati tulisan “Setia hingga terachir didalam kejakinan” tertanggal 5 September 1949.


Mayor Daan Mogot – Pendiri / Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang
Nama : Mayor Elias Daniel Mogot
TTL : Manado, 28 Desember 1928
TTM : Tangerang, 25 Januari 1946
Peranan-Peranan:
- 1942 sebagai pelatih anggota PETA (Pembela Tanah Air) di Bali lalu di Jakarta
- 1945 sebagai Komandan TKR di Jakarta (pangkat Mayor)
- 1945 sebagai Pendiri dan Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) bulan November
- gugur di Hutan Lengkong bersama 36 orang lainnya dalam pertempuran melawan tentara Jepang

Tahun 1945 ia menjadi komandan TKR bersama sahabat karibnya Kemal Idris dengan pangkat mayor yang membawahi bekas anak buahnya saat menjadi pelatih tentara PETA di Jakarta. Bulan November 1945 ia bersama Kemal Idris, Daan Yahya, dan Komandan Resimen Tangerang mendirikan Akademi Militer Tangerang (M.A.T.). Ia kemudian menjadi Direktur Akademi Militernya yang pertama. Seringkali tarunanya diminta untuk mengawal kereta api yang mengangkut logistik untuk sekutu melewati daerah rawan ekstrimis nasionalis. Tanggal 25 Januari 1946 ia memimpin 33 orang Taruna Akademi Militer bersama 4 perwira Akademi dan sepuluh orang tentara Gurka Inggris menemui markas Jepang di hutan Lengkong untuk melucuti senjata-senjata mereka sebelum dilucuti oleh Belanda. Saat sebagian senjata sedang diangkut, tiba-tiba terdengar tembakan yang tidak diketahui keberadaannya. Senjata-senjata yang telah diserahkan langsung direbut kembali oleh Jepang. Mayor Daan Mogot yang saat itu sedang bernegosiasi dengan Kapten Abe berusaha menengahi tembak menembak itu. Akhirnya Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada dan berusaha menembak lawan dengan senapan mesin sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.


Kolonel Alex E. Kawilarang – Sesepuh TNI
Nama : Alexander Evert KAWILARANG (alias Alex alias Lex)
TTL : Mestercornelis Jatinegara Jakarta, 23 Februari 1920
TTM : Jakarta, 6 Juni 2000

Tahun 1941 ia masuk Akademi Militer Kerajaan Belanda yang waktu itu dibuka secara darurat di Bandung karena negeri Belanda waktu itu telah dijajah Jerman dalam Perang Dunia kedua. Diantara kadet-kadet tersebut ada tujuh orang Indonesia yang disiapkan menjadi serdadu infanteri seperti A.H. Nasution, Rachmat Kertakusuma, Andre Mantiri, satu di prajurit zeni yaitu TB Simatupang, satu di artileri yaitu Askari.

Pada saat Jepang menduduki Hindia Belanda, seluruh tentara KNIL ditawan, termasuk diantaranya adalah Alex Kawilarang. Lalu ia dan beberapa temannya melarikan diri dari kamp tawanan.
Setelah mendengar Indonesia merdeka, ia menjadi opsir penghubung dengan Pasukan Inggris di Jakarta (dengan pangkat Mayor). Sesudah itu ia menjadi Kepala Staf Resimen Bogor dengan pangkat Letkol sejak bulan Januari 1946. Sesudah itu ia menjadi Komandan Resimen Infanteri Bogor pada bulan April-Mei 1946, lalu menjadi Komandan Brigade II/Suryakencana di Sukabumi-Bogor-Cianjur sejak bulan Agustus 1946. Ajudannya adalah Yogie S. Memet yang kelak menjadi Menteri RI.

Pada tahun 1948-1949 menjadi Komandan Brigade I Divisi Siliwangi di Yogyakarta lalu dipindahkan ke Sumatera menjadi Komandan Sub Teritorium VII/Tapanuli Sumatera Timur Selatan sejak tanggal 28 November 1948. Anak buahnya di situ adalah Mayor Maraden Panggabean yang kelak menjadi Panglima ABRI. Sedangkan ajudannya sejak ia dari Jawa Barat adalah Yogie S. Memet yang kemudian menjadi menteri. Menurut cerita, anak buahnyalah yang membunuh Panglima KNIL di Indonesia yaitu Jenderal Spoor di jalan antara Sibolga Medan.

Pada tahun 1949-1950 ia diangkat menjadi Gubernur Militer Aceh & Sumut merangkap Wakil Koordinator Keamanan (Sejak 28 Des 1949) Komandan Territorium I/Sumatera Utara dengan pangkat Kolonel lalu menjadi Panglima Tentara & Territorium I Bukit Barisan di Medan sejak 21 Februari 1950.
Setelah itu ia menjadi Panglima Tentara & Teritorium VII/Indonesia Timur yang pertama. Sejumlah besar anak buahnya kelak menjadi orang besar, antara lain Presiden Soeharto, ajudan Jenderal Yogie S. Memet, ajudan Jenderal M. Jusuf, Jenderal M. Panggabean

Kolonel Joop Warouw
Nama : Jacob Frederick Warouw (alias Joop)
TTL : Batavia, 8 September 1917
TTM : Tombatu, antara 10-15 Oktober 1960

Kolonel Joop Warouw, yang sempat menempuh ilmu di STOVIL alias Sekolah Penolong Injil Pribumi di Tomohon ini sempat diperbantukan pada sebuah unit lampu senter (lampu sorot) tentara Jepang tahun 1940 untuk menghadapi pesawat tempur Sekutu malam hari. Mulanya, saat diinterogasi tentara Jepang, ia dan temannya mengaku mampu membetulkan lampu sorot dan perkakas lainnya. Setelah ia memperagakan membetulkan peralatan Jepang, akhirnya ia diperbantukan diperbantukan pada sebuah unit lampu senter (lampu sorot). Padahal sebelumnya ia dan temanya telah mempreteli dan menyembunyikan bout dan komponen kecil itu.
Kemudian tahun 1942-1954 ia menjadi anggota organisasi Hantyo Ittokyu yang disponsori Jepang.

Setelah Perang Dunia ke-2 berakhir, ia menjadi Wakil Pimpinan Bagian Pasukan PERISAI (Pemuda Republik Indonesia Sulawesi) merangkap Kepala Pasukan setingkat regu.
Lalu menjadi Kepala Barisan PRI Sulawesi (PERISAI) pada tanggal 9 Oktober 1945. PERISAI ini juga dikenal dengan nama KRIS Surabaya. Ia menjadi salah satu Komandan Regu Barisan Istimewa PERISAI bersama-sama dengan Yus .Somba, Utu’ Lalu, Kembi H.V.Worang. Yang merupakan pasukan elit KRIS Surabaya.


* Tahun 1946 ia menjadi Wakil Komandan dan Kepala Staf Divisi VI Tentara Laut RI (TLRI) merangkap Kepala Personalia di Lawang- Jawa Tengah dengan pangkat Letkol.
* Tahun 1946-1948 Divisi VI ALRI ini dirubah menjadi Pangkalan Sepuluh ALRI dimana ia menjadi Wakil Komandan/Kepala Staf ALRI Pangkalan X di Situbondo Jatim merangkap Kepala Seksi Operasi.
* Tahun 1948-1950 ia menjadi Komandan Brigade XVI di Yogyakarta, lalu ia ikut Pasukan Seberang menuju ke Indonesia Timur. Waktu itu ia dan anak buahnya sempat mengunjungi Letkol Lembong, yaitu Komandan KRIS di Bandung beberapa saat sebelum ia dibantai oleh APRA.
* Tahun 1950-1952 ia menjadi Komandan Komando Pasukan (KOMPAS) B - Sulawesi Utara & Maluku Utara di Manado (dengan membawahi Resimen Infanteri 24), dilanjutkan menjadi Komandan Komando Pasukan (KOMPAS) D - Maluku Selatan di Ambon (dengan membawahi Resimen Infanteri 25), terakhir menjadi Komandan Komando Pasukan (KOMPAS) A - Sulawesi Selatan membawahi Resimen Infanteri 23 di Makassar.

Tambahan:
Ia dikabarkan sebagai orang yang menembak Jenderal Mallaby, Panglima Pasukan Inggris di Surabaya, yang mana peristiwa ini menjadi penyulut meletusnya Peristiwa 10 November 1945 Surabaya. Tanggal 31 Oktober Joop Warouw mengundang J.H. Tamboto untuk memeriksa pasukannya di Jembatan Merah. Kemudian menreka menaiki gedung bank di depan Jembatan Merah tersebut untuk meninjau keadaan kota. Mereka berdua tertarik dengan iring-iringan dari gedung Internatio bersama dengan Brigjen Mallaby dengan kapten pengawalnya.
Ketika kendaraan mendekati Jembatan Merah, karaben Joop Warouw mengeluarkan tembakan dua kali berturut-turut kemudian melihat kendaraan itu mulai terbakar, dan semua melompat keluar masuk tepi kuala kecuali Brigjen Mallaby yang tidak sempat keluar dan terbakar bersama sedan tersebut.

Mayor H.N. Ventje Sumual
TTL : Remboken/Minahasa, 11 Juni 1923
* 1945-1948 : - Jakarta liaison officer untuk KRIS
- Pucuk Pimpinan Laskar "KRIS" (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) di Yogya
- Dalam Perang Kemerdekaan I sbg Perwira Staf Brigade-XII (ex Laskar KRIS)
di Yogyakarta
* 1948-1950 : - Kepala Staf KRU-X (ex Brigade XII) di Yogyakarta
- Kepala Staf Brigade-XVI (ex KRU-X) di Yogyakarta (1948)
- Komandan SWK-103A dalam WK-III di Yogyakarta (1949)
* 1950-1952 : - Perwira Staf Angkata Darat di Jakarta
- Pamen (perwira menengah) pada Komisi Militer Indonesia Timur di Manado
- Perwira Menengah Komando Pasukan Sulawesi Utara/Tengah & Maluku di Manado
- Komandan Komando Pasukan SU-MU (KOMPAS B) di Manado (RI-24)
* 1952-1953 : - Mengikuti pendidikan Militer Sekolah Staf & Komando Angkatan Darat di Bandung
- Kasi-I Inspektorat Infanteri Angkatan Darat di Bandung
* 1953-1956 : - Komandan Latihan & Inspektur Pendidikan di Bandung

Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, sebagai Komandan SWK-103A/Jogja Barat WK-III, memimpin serangan dari arah barat serta berhasil menyerang markas besar tentara Belanda (T-Brigade) di tengah-tengah kota Yogyakarta


Kiri: Kolonel Evert Langkay & Letkol Jan Rappar
Tengah: Letkol Adolf G. Lembong
Kanan: Letkol A.G. Lembong & Letkol. Joop Warouw


Letkol Adolf G. Lembong
TTL : Ongkau, Minsel
TTM : Bandung, 15 Agustus 1950

Mulanya ia masuk tentara KNIL Hindia Belanda dalam pendidikan calon perwira, kemudian dikirim sebagai anggota pasukan sekutu ABDA (Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia) ke Filipina tahun 1943 untuk berperang melawan Jepang. Setelah Perang Dunia ke-2 selesai, dengan pangkat Kapten sekutu, ia pergi ke Jawa Timur dan tahun 1947 bergabung dengan tentara Indonesia dan diangkat menjadi Komandan Brigade XVI/Pasukan Seberang putera daerah dengan pangkat Letkol pada tahun 1948. Ia sempat ditawan oleh Belanda di Ambarawa. Letkol Lembong sedang direncanakan untuk menjabat sebagai Atase Militer RI di Filipina karena latar belakangnya dalam Perang Dunia ke-2 di Filipina sebagai tentara sekutu. . Ia kemudian dipanggil Markas Besar TNI untuk menyusun perencanaan organisasi militer TNI karena ia telah berpengalaman di Filipina sebagai tentara sekutu pimpinan Amerika Serikat dalam hal pendidikan setingkat kompi. Letkol Lembong diangkat sebagai Kepala Bagian Pendidikan Militer TNI-AD di Bandung. Namun ia tak sempat menjabati jabatan itu karena pada bulan Januari 1950 sekitar seribu tentara KNIL yang menamakan dirinya APRA pimpinan Westerling menyerbu Bandung. Letkol Lembong yang baru tiba, kemudian masuk di markas Divisi Siliwangi yang tak ia tahu sudah diduduki APRA. Letkol A.G. Lembong sebagai petinggi APRIS di wilayah itu pun gugur di tempat karena tembakan bertubi-tubi dan tusukan bayonet APRA.

Kolonel Evert Langkay
Tanggal 8 Oktober 1945 berdirilah sebuah organisasi yang bernama Kebaktian Rakyat Indonesia Sulaewsi atau KRIS. Ketuanya Bart Ratulangi, Sekretaris Kahar Muzakar, urusan sosial oleh Zus Ratulangi dan Bagian Pertahanan dipegang Eivert Langkay, yang di kalangan KRIS lebih dikenal sebagai Panglima KRIS. Sebelum proklamasi, Langkay memang menguasai semua berandalan di wilayah Senen dan sekitarnya. Ia memang sudah biasa memimpin pasukan. Pasukannya Surya Wirawan sudah dikenal luas. Dari awal Laskar KRIS dikenal terlalu nekat. Pimpinan mereka antara lain Jan Rappar, Lombogia, Lukas Palar, Alex Pangemanan, Vence Lasut, Piet Sumilat, Heitje Korouw, Piet Sibi, Kodongan. KRIS paling sering menyerang langsung ke markas Batalyon 10 tentara musuh di Kwitang, pasukan marinir di Menteng, dan berbagai pos penting di Jakarta, Krawang, Yogyakarta, Surabaya, dan lainnya. Hampir tiap hari tentara sekutu harus menghadapi gempuran Laskar KRIS. Tak jarang KRIS menerima order berperang dari kelompok pejuang lain jika hendak melakukan gempuran yang agak besar. Setelah memimpin pengawalan para pemimpin republik, langsung berangkat ke Surabaya menemui Bung Tomo untuk membicarakan masalah yg menimpa keluarga-keluarga Minahasa yang mulai dibantai di kota ini.

Kapten D.J. Somba (Yus)
Nama : Daniel Julius Somba (alias Yus)
TTL : Jawa Tengah, 26 Juli 1923

Peranan-peranan / Kegiatan :
* pra 1945 : - Anggota organisasi Pembela Tanah Air (PETA)
* 1945-1948 : - Komandan pasukan Barisan Istimewa PRISAI (KRIS Jawa Timur)
- Anggota Divisi VI ALRI di Jawa Timur
* 1949 : - Komandan Kompi I Batalyon Worang dalam Brigade XVI
* 1950 : - Sebagai Komandan Kompi I Batalyon Worang,
Ikut operasi Penumpasan pemberontakan di Indonesia Timur
* 1951-1952 : - Komandan Bn.702 di Makassar
* 1953 : - Komandan Bn.707 di Ambon



Kapten Arie Supit
Nama : Letkol. Arie Willy Supit
TTL : Telukbetung, 13 Juli 1923
TTM : 1986

* 1945 : - dalam kelompok mahasiswa penjaga & hadir pada detik² Proklamasi RI
- sebagai Pengawal Bung Karno dalam Rapat Raksasa di Lapangan
- anggota kelompok mahasiswa yang dikirim ke Solo & Madiun konsolidasi
kembali pasukan PETA
- anggota penghubung di kantor Cilacap
- Komandan Kompi-11 Polisi Tentara di Resimen Singgih-Tangerang
* 1946 : - Komandan Kompi II Brigade Suryakencana
- dalam Perang Kemerdekaan I, bergerilya di sekitar Sukabumi-Cianjur-Bogor
* 1948 : - hijrah dengan pasukan Divisi Siliwangi ke Delanggu, Jawa Tengah
- ikut dalam Bagian liaison MBT mengatur KTN
- kuliah sambilan di PTK Klaten
- dalam Perang Kemerdekaan II, melakukan long march ke Jawa Barat
dengan Brigade Kusno Utomo
- Kepala Staf Brigade di Komando Pasukan Pos Banjaran
* 1949 : - membantu Kolonel Mokoginta dlm usaha menjebol Negara Indonesia Timur (NIT)
dalam Komisi Tinggi Militer APRIS di Indonesia Timur

Mayor Hein Victor Worang
Nama : Mayjen TNI Purn Hein Victor Worang (Kembi)
TTL : Tontalete – Tonsea, 12 Maret 1919
TTM : Jakarta, 1981

Tahun 1945 Kembi Worang menjadi kepala pasukan dalam Pemuda Republik Indonesia Sulawesi (PRI-SAI). Bulan Oktober 1945 PRI Barisan Istimewa dibentuk dengan pemimpinnya H.V. Worang, Joop Warouw, D. Somba, Utu’ Lalu yang berkekuatan satu peleton senjata lengkap. Pasukan Kembi bertempur di Jawa Timur melawan Inggris dan NICA Belanda. Tahun 1949 ia memimpin batalyon sendiri yang bernama Batalyon Worang dengan pangkat Mayor. Bulan Mei 1950 membantu Batalyon 3 Mei mencegah Sulawesi Utara bergabung dengan NIT dan pengaruh NICA.
Bulan September 1950 ia dan pasukannya berangkat ke Ambon untuk menumpas gerakan Republik Maluku Selatan.
Tahun 1953-1954 membersihkan gerakan tentara Darul Islam DI/TII Sulawesi Selatan.



Frans S. Mendur
Nama : Frans Sumartho Mendur
TTL : Manado, 16 April 1913
TTM : Jakarta, 24 April 1971

Sejak usia remaja, adik dari Alex Mendur ini sudah berlayar ke pulau Jawa jadi anggota Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) pimpinan Dr. Sutomo di Surabaya. Mendoer sudah jadi wartawan foto sejak 1935. Mula-mula dia belajar pada kakak kandungnya sendiri Alex Mendoer yang kala itu menjadi wartawan foto Java Bode, koran berbahasa Belanda di Jakarta. Di samping di Wereldnieuws, sebuah mingguan berbahasa Belanda yang dicetak di percetakan de Unie di Jakarta. Tahun 1945 menjadi anggota pemuda Asia Raya jaman pendudukan Jepang di Jakarta. Setelah Jepang kalah perang, dia pula bersama BM Diah yang memelopori perebutan percetakan de Unie. Tanggal 17 Agustus 1945 hadir di jalan Pegangsaan Timur no. 56 Jakarta dan berhasil membuat foto detik-detik pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Ternyata foto itu adalah satu-satunya foto yang selamat tidak disita oleh pihak Jepang karena disembunyikan di atap rumah. Tahun 1946-1949 menjadi Ketua Badan Perjuangan KRIS ikut bergerilya bersama Panglima Besar Jenderal Sudirman dengan membuat serangkaian foto dokumentasi. Tahun 1953 menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) angkatan pertama ketika organisasi itu didirikan di Yogyakarta.

Alex Mendur
Nama : Alexius Impurung Mendur (atau Alex)
TTL : Kawangkoan, 7 November 1907
TTM : 1984
Setelah tamat sekolah Volks School jaman Belanda, kemudian tahun 1922 menuju Batavia (sekarang Jakarta). Bekerja di perusahaan Kodak milik orang Jerman menjual alat-alat kamera foto, tahun 1931-1934 menjadi wartawan foto majalah Hindia Belanda De Java Bode. Lalu pada masa pendudukan Jepang tahun 1943 di Jakarta menjadi wartawan foto kantor beritasebagai Kepala Kantor Berita Domei bersama Adam Malik yang menjadi penulis berita. Pembacaan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur berhasil dipotret oleh Alex Mendur dan adiknya Frans Mendur. Alat kamera mereka kemudian disita pihak Jepang dan dimusnahkan, tapi satu rol film telah mereka simpan dan itulah satu-satunya foto penaikan bendera Merah Putih pada pembacaan teks proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta. Tanggal 6 September 1945 bersama Rosihan Anwar sebagai penulis berita, Alex Mendur ikut rombongan presiden Soekarno ke Yogyakarta dan banyak membuat foto-foto perjuangan mempertahankan kemerdekaan.


Frans I. (Nyong) Umbas
Nama : Frans Ferdinand Umbas (alias Nyong Umbas)
TTL : Kawangkoan, 25 Juli 1915
TTM :
Hobi memotretnya ia salurkan dengan cara bergabung dengan Alex dan Frans Mendur dan mendirikan kantor berita foto bernama IPPHOS. Mereka membuat foto-foto perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956 – 9 April 1957) ia diangkat menjadi Menteri Muda Perekonomian


Letkol Ch.Ch. Taulu (Charles Choesoy Taulu)
Nama : Charles Choesoy Taulu
TTL : Kawangkoan, 20 Mei 1909
TTM : 1969

Setelah tamat E.L.S. (SMA) ia masuk ketentaraan Hindia-Belanda / KNIL pada tahun 1920-an. Setelah Jepang kalah perang, ia melanjutkan dinasnya di dalam KNIL pada tanggal 12 Oktober 1945 setelah Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) mengambil alih kekuasaan dari tangan sekutu Australia. Chalie saat itu berpangkat Furir di kesatuan KNIL Kompi VII. Ia lalu mengumpulkan anggota KNIL yang memihak RI untuk menguasai tangsi Teling Manado. Namun rencana itu sempat bocor sehingga sebagian anggota KNIL di tangsi itu ditangkap termasuk Taulu., Selain itu dilakukan pelucutan peluru-peluru dalam markas di Tangsi Teling serta diberlakukannya konsinyasi secara tiba-tiba terhadap Kompi VII.

Karena rencana aksi itu telah bocor kepada pimpinan Tangsi Teling yaitu Kapten Blom serta Komadan Pasukan KNIL di Sulawesi Utara-Tengah dan Maluku Utara Letkol B.P. de Vries, maka pelaksanaan aksi perebutan kekuasaan itu dipercepat menjadi jam 1 tengah malam. Menurut rencana yang sudah ditetapkan, gerakan aksi akan dimulai jam 3 dinihari menjelang pagi 14 Februari 1946. Pada pagi dan siang harinya diadakan perebutan kekuasaan di kamp 8000 tawanan orang Jepang di Wangurer Bitung, lalu di Tomohon, Tondano, dan beberapa kota di Minahasa lainnya.

Kekuasaan orang-orang Merah Putih ini hanya bertahan selama 25 hari dan pada tanggal 11 Maret 1946 Hindia Belanda berkuasa kembali di Minahasa akibat pengkhianatan dan politik adu domba serta jebakan licik Belanda. Ia dan kawan-kawan pimpinan dan pelaku kudeta ditahan di dalam penjara. Tahun 1949 ia dibebaskan dari penjara Cipinang Jakarta dan pada tahun 1951 menjadi Staf Pribadi KSAD dengan pangkat Mayor.


B. W. Lapian

Nama : Bernard Willhelm Lapian
TTL : Kawangkoan, 30 Juni 1892
TTM : Jakarta, 5 April 1977
- Tahun 1945 sebagai anggota Panitia Badan Persiapan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
(BPPKI) di Tondano
- Tahun 1945-1946 sebagai Kepala Distrik Manado
- Tahun 1946 dalam Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 sebagai Kepala Pemerintahan
Sipil Sulawesi Utara yaitu Residen Manado yang meliputi Sulawesi Utara & Tengah.

Pada dini hari tanggal 14 Februari 1946, diadakanlah sebuah kudeta tidak berdarah yang dipelopori oleh anggota KNIL atau Tentara Hindia Belanda dalam Kompi VII di markasnya di Tangsi Teling. Para pemimpin aksi ini sebenarnya telah ditangkap pada tanggal 13 Februari yaitu sehari sebelumya yaitu Fourir Ch. Ch. Taulu, Sersan S.D. Wuisan, Wangko Sumanti, dll. Selain itu dilakukan pelucutan peluru-peluru dalam markas di Tangsi Teling serta diberlakukannya konsinyasi secara tiba-tiba terhadap Kompi VII.
Pada pagi dan siang harinya diadakan perebutan kekuasaan di kamp 8000 tawanan orang Jepang di Wangurer Bitung, lalu di Tomohon, Tondano, dan beberapa kota di Minahasa lainnya.

Setelah Komandan KNIL Letkol B.P. de Vries dan Co-NICA, Coomans de Ruyter menyerah kepada para pelaku kudeta maka pada malam harinya atas prakarsa dari B.W. Lapian sebagai Kepala Distrik Manado yang telah mengetahui terlebih dahulu berita berhasilnya kudeta, diadakanlah konsultasi pertama kalinya antara unsure militer dan sipil dalam sebuah rapat yang diadakan di tempat tinggal sementara dari B.W. Lapian di daerah Singkil, Manado Utara. Rapat ini dipimpin bersama oleh Ch.Ch. Taulu dan B.W. Lapian dan dihadiri oleh tokoh-tokoh sipil dan militer Sulawesi Utara. Juga turut diundang dan hadir dalam rapat itu, beberapa perwira KNIL bangsa Minahasa.

Dalam rapat itu diputuskan untuk mengangkat B.W. Lapian sebagai penjabat Residen sementara waktu dan juga Ch.Ch. Taulu pun meminta kesediaan Kapten J. Kaseger untuk menjabat sebagi Komandan Tentara sementara waktu.

Sesuai dengan keputusan Rapat Komando Militer Sulawesi Utara pada hari sebelumnya, maka pada tanggal 16 Februari 1946 diadakan pertemuan lagi bertempat di Gedung Minahasaraad (Dewan Minahasa) di Manado. Dalam pertemuan ini berhasil dibentuk suatu Dewan Musyawarah Rakyat Sulawesi Utara dengan ketuanya B.W. Lapian. Secara aklamasi dewan tersebut memilih B.W. Lapian sebagai Kepala Pemerintah Sipil Sulawesi Utara yang menggantikan Residen dari Keresidenan Manado .

Sayangnya, kekuasaan orang-orang Merah Putih ini hanya bertahan selama 25 hari dan pada tanggal 11 Maret 1946 Hindia Belanda berkuasa kembali di Minahasa akibat pengkhianatan dan politik adu domba serta jebakan licik Belanda. Mereka menawan tokoh-tokoh dibalik Peristiwa Merah Putih tersebut. B.W. Lapian sendiri ditahan di penjara Glodok Jakarta. Setelah pengakuan kedaulatan, B.W. Lapian dibebaskan kembali dari penjara Glodok tanggal 21 Desember 1950 dan dijemput Arnold Mononutu, Menteri Penerangan Republik Indonesia Serikat (RIS). Dua hari kemudian mereka bersama Arnold Mononutu berangkat ke Yogyakarta. Rombongan ini mendapat kesempatan beraudensi menghadap Presiden RIS Ir. Sukarno, dimana B.W. Lapian dan kawan-kawannya telah diperkenalkan sebagai pejuang kemerdekaan di Sulawesi Utara.



Bodewyn Talumewo - HUT Proklamasi RI 2007

===================================================================
"Tabea Waya!
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan, kisah dan kedudukan kaumnya di sepanjang masa!
Minahasa adalah bangsa yang basar!
Karena itu hargai akang torang pe Dotu-dotu deng samua yang dorang kase tinggal for torang!
Pakatuan wo pakalawiren!
Sa esa cita sumerar cita, sa cita sumerar esa cita! Kalu torang bersatu torang musti bapencar, biar lei torang bapencar torang tetap satu!
I Yayat U Santi!"
===================================================================