Bangsa Minahasa

Setiap bangsa yang ingin mempertahankan jati dirinya, harus menghargai warisan suci tradisi dan budaya dari para leluhurnya; Kita (bangsa Minahasa) harus memelihara dan mempertahankan tradisi dan budaya bangsa Minahasa dengan segenap kemampuan dan semangat, karena semangat itu sendiri tidak lain mengandung tradisi dan budaya Minahasa. (Dr. Sam Ratulangi: Fikiran - 31 Mei 1930)

Saya tidak akan mempermasalahkan apakah keberadaan bangsa kami Minahasa disukai atau tidak, karena itu adalah permasalahan teoritis. Bagi saya dan bangsa saya Minahasa, sudah jelas, bahwa kami memiliki hak untuk eksis.
Jadi, tugas kami adalah bagaimana menjamin kelanjutan eksistensi bangsa Minahasa ini, dan sedapat mungkin memperkecil penetrasi asing. Kami berusaha untuk merumuskan suatu tujuan yang sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan rakyat kami dalam menjalankan tugas tadi. Dan agar usaha-usaha kami itu dapat diterima dan dihargai, kita perlu mengenal hal-hal yang mendasarinya, yaitu: posisi Minahasa selama ini terhadap negara-negara sekitarnya.
("Het Minahassisch Ideaal" / Cita-cita Minahasa oleh DR. GSSJ Ratu Langie, ‘s-Gravenhage, Belanda - 28 Maart 1914)

Rabu, 15 Oktober 2008

Hikayat Pulau Lembeh


HIKAYAT PULAU LEMBEH
Oleh Grey Talumewo



Inilah hikayat Pulau Lembeh yang diceriterakan oleh tua-tua Malesung.
Adapun hikayat tua tanah Minahasa ini adalah kisah yang sangat kelam, terbungkus dengan kabut kegelapan ceritera purbakala, yang dituturkan secara turun-temurun oleh orang tua kepada anak cucu turun-temurunnya.
Adapun maka orang penduduk Mahasa pertama itu terdapatlah di hulu dan berdiam pada sembarang pinggir padang rata di atas daripada Wulur Mahatus pegunungan itu yaitu menandakan sipat antara tanah Malesung dan Bolaang Mongondow pada tempat yang disebut Mahawatu namanya.
Maka keluarlah dua orang dari tempatnya, yang satu tua dan yang lain muda yaitu Karema dan Lumimuut namanya. Kemudian Karema suruh Lumimuut menengada ke arah tenggara. Akhirnya hamillah Lumimuut, lalu pada masanya lalu bersalin seorang anak laki-laki, Toar namanya itu.
Maka anak itu dipiara oleh Karema sampai umurnya bertambah-tambah, pada akhirnya tiada dikenalnya lagi ibunya itu.
Akhirnya Toar dan Lumimuut ibunya itu menikah, dan mempunyai banyak anak. Merekapun itu berpindah tempat dan berdiam sebuah tempat bernama Watu Niutakan.
Adapun anak cucu Toar-Lumimuut itu menjadi tiga kaum besar yang dinamai Se Makarua Siow, Se Makatelu Pitu dan Se Pasiowan Telu.
Kaum Makarua Siow yaitu kaum pengatur segala ibadat dan adat. Merekalah kaum Walian dan Tonaas.
Kaum Makatelu Pitu yaitu kaum pamarentah Wanua dengan penjaga Tumani. Merekalah kaum pemerentah, Patu’an atau Paendon Tu’a panggilannya. Panjaga Wanua dengan Tumani itu Waranei panggilannya dengan kapala pasukan, Teterusan namanya.
Sedangkan kaum Pasiowan Telu itulah penduduk biasa. Merekalah rakyat biasa, petani, nalayan dan pencahari binatang di hutan.
Menurut yang empunya cerita itu, mereka berkembang biak sebanyak empat turun-turunan generasi di Watu Niutakan. Watu Niutakan itulah Pinontakan sebutan orang sekarang. Maka mereka menyebut bangsanya sendiri, Malesung namanya.
Adapun tempat mereka berdiam itu sudah penuh sesak adanya. Maka berpencarlah mereka untuk mencahari tempat yang baik baginya.
Maka keluarlah tiga puluh delapan taranak : kapala kaluarga bersama istri dan anak-anaknya bersama pengikutnya ke seluruh penjuru Malesung. Adapun taranak itu pergi dengan dua puluh lima rombongan besar berdiam di seluruh tanah Malesung, Malesung itulah tanah Minahasa.
Maka keluarlah rombongan ketujuh, Makaliwe beserta istrinya Rinuwatan-tinontoan dan empat anaknya itu pergi berdiam di tanah Mongondow itu.
Maka keluarlah rombongan Rumoyomporong beserta istrinya Paparayaanporong dan empat anaknya itu pergi ke sebelah timur tanah Malesung dan berdiam di suatu pulau yang dinamai kemudian Punten ni Rumoyomporong.
Punten ni Rumoyomporong itulah pulau Lembeh sekarang.
Kemudian berbantah-bantahan anak cucu Toar-Lumimuut itu. Se Pasiowan Telu itu yang merasa tidak puas akan peri dan laku kedua kelompok pimpinannya itu. Maka perbantahan huru-hara itu makin hari makin bertambah-tambah, timbul daripada kedengkian hati sehingga picalah pemberontakan Se Pasiowan Telu.
Pemimpin Se Pasiowan Telu yaitu Tonaas Kopero dari Tompakewa, Tonaas Muntu-untu dari Toun Bulu, Tonaas Mandey dari Tountewoh memimpin pemberontakan itu. Merekalah pemimpin foso pembagian tanah Malesung.
Maka diadakanlah foso pembagian atau Pinawetengan Posan serta Pahawetengan Nuwuh di tempat bernama Tumaratas. Tempat itu berada di sebelah utara Kuntung i Wailan, pegunungan itu. Itulah gunung yang dikuasai oleh Opo Soputan beserta istrinya Pariwuhan dengan sembilan anaknya.
Maka dibagikanlah tanah Malesung di utara pegunungan Kuntung i Wailan di atas sebuah batu bernama Watu im Pinawetengan. Di sablah utara gunung Tonderukan letaknya.
Maka bagian bangsa Tountewoh berkumpullah di bawah perintah Walalangi dan Rogi pada tempat bernama Niaranan tetapi berpindah pula ke tempat bernama Kembuan pada masa Wailan Umboh. Akhirnya di situ nama bangsa ini berganti menjadi Tounsea’. Maka keluarlah taranak-taranak dari Kembuan mendirikan beberapa tumani baru di tanah pakasaan Tounsea.
Maka keluarlah taranak tonaas-tonaas Rurugala, Wenas, Roringtudus, Maramis, Roringwailan, Sigarlaki dan Maidangkai, Runtukahu, Kapongohan dan Rotulung mendirikan beberapa tumani baru.
Maka taranak tonaas Kapongohan dan Rotulung mendirikan tumani’ - wanua Kema namanya. Taranak dari tonaas Rotulung inilah yang memerintah pakasaan Tounsea dengan nama baharunya Dotulong.
Maka dinamailah pulau itu oleh taranak pakasaan Tounsea – "Lembeh" namanya. Bermula dari kata Dembet yang artinya "di seberang air". Pakasaan Toulour pun menyebutnya "Lewet".
Akhirnya maka pada saat anak-anak bangsa Rumoyomporong itu berdiam di pulau yang disebut Punten ni Rumoyomporong – Pulau Rumoyomporong atau menurut bunyi tuturan adalah pulau Lembeh sekarang ini, maka datanglah bangsa-bangsa orang asing turunannya, berasal dari pihak seberang lautan Sendangan. Adapun pihak sendangan Malesung itu bernama Ternate. Merekalah taranak Mogogibun Roti. Dengan persetujuan serta persahabatan pula dari bangsa Rumoyomporong, mereka pun berdiam di pulau itu. Menurut yang empunya ceritera, taranak itu mendiami pulau Rumoyomporang pada abad kedua belas.
Bangsa asaing taranak Mogogibun Roti itupun mendirikan kerajaan Bolango. Mereka menyebut pulau Lembeh itu dengan nama lobe. Sebab kata mereka pulau itu "menjorok keluar". Bolango itupun berasal dari kata "Mobolango", artinya "menyeberang". Karena mereka menyeberang dari Pulau Batang Dua – Ternate namanya. Tersebutlah seorang kolano Bolango, Wintu-wintu namanya. Ia mempunyai seorang putera, Sari Wondo namanya, "sinar matahari" artinya.
Maka inilah kisah Pingkan Mogogunoy dan lakinya Matindas.
Tersebutlah Pingkan Mogogunoy, tinggal di Luaan Tana Wangko’ yaitu tanah Toun Wariri. Lakinya berasal dari Rano i tolang. Matindas namanya.
Maka patung wajah Pingkan Mogogunoy yang dijaga oleh lakinya Matindas jatuh ke tangan kolano Dodi Mokoagow. Menurut yang empunya ceritera, Dodi Mokoagow memerintah Mongondow pada tahun 1560 sampai tahun 1600. Jadi berpuluh-puluh tahun sebelum perang Toumbulu-Sepanyol. Kolano itulah Punuh Mongondow sebutan mereka.
Akhirnya diketahuilah gadis Pingkan Mogogunoy pemilik patung itu. Di Luaan Tanah Wangko’ letaknya. Itulah tanah Walak Toun Wariri. Maka berangkatlah Dodi Mokoagow bersama penggiringnya untuk bertemu Pingkan Mogogunoy.
Maka pemerintahan Mogondow itu diserahkan kepada Punu Mokodompit. Menurut yang empunya ceritera, Punuh Mokodompit kahwin dengan Wawu’ Mongiade dari Pulau Lembeh. Punuh sebelumnya juga kahwin dengan Wawu’ Ganting-ganting dari Mandolang. Tempat mereka memerintah ada di pinggir kuala Rano i Apo. Buyungon nama tempat itu, di tanah Toun Kimbut. Itulah tanah Tompakewa.
Maka larilah Pingkan Mogogunoy dan lakinya Matindas ke Walak Tounsea. Di Ma’adon tempatnya. Dekat wanua Kema. Maka, kolano Mokoagow pun mengejar jugalah mereka.
Akhirnya dengan akal Matindas maka tewaslah kolano Mokoagow di tangan serdadunya. Maka diadakanlah foso Mahapansa untuk membujuk roh kolano Dodi Mokoagow itu. Hanyalah orang Tounbulu, Toulour serta Tounsea yang mengikutinya. Cuma Tountemboan saja yang tidak mengikutinya. Mereka hanya menjadi tamu pelengkap foso karena tidak ikut terlibat dalam tewasnya kolano Mongondow itu.
Maka bangkitlah amarah bangsa Mongondow berperang dengan bangsa Malesung. Mereka memerangi semua keluarga anak cucu Toar-Lumimuut. Tiada tersisa. Apabila diketemukan anak cucu Toar-Lumimuut maka diperangilah mereka.
Maka datanglah tiga orang serdadu penggiring kolano Dodi Mokoagow ke Pulau Lembeh menceriterakan kematian punuh mereka. Maka kata Wintu-wintu, kepala bangsa Bolango itu, "Kalau demikian perbuatan orang Tounsea ini, esok hari juga kita pergi memerangi bangsa Rumoyongporong, sebab mereka itu juga bangsa Malesung.
Tersebutlah nama Mowoho, tonaas turunan Rumoyongporong itu. Didengarnyalah bunyi burung manguni. Beritanya buruk. Akan terjadi suatu celaka besar artinya. Maka berjaga-jagalah mereka supaya tidak menderita suatu celaka.
Maka persekutuan antara bangsa Rumoyomporong – yaitu bangsa taranak Toar-Lumimuut dengan bangsa asing Bolango itu, bubar karena bangsa asing itu adalah orang-orang perompak dan memerangi bangsa Malesung itu. Perbantahan huru-hara besar itu terjadi di atas pulau, sehingga banyak penduduknya pergi ke tempat lain dan menyeberanglah mereka kembali ke tanah besar. Itulah tanah Malesung.
Maka larilah Wintu-wintu bersama dengan bangsanya dan orang lainnya berperahu menuju ka fihak utara itu, serta singgahlah mereka itu pada beberapa tempat pesisir pulau-pulau Bangka, Talisei dan lain-lain. Karena mereka berperang di setiap tempat singgahnya, maka diusirlah bangsa itu oleh orang-orang di pulau-pulau itu. Sehingga pada akhirnya bangsa itupun berdiam di pinggir sungai besar Lombagian di tanah Mongondow di totabuan Molibagu namanya.
Maka wanua Kema menguasai pantai timur dan utara Malesung. Pulau Lembeh juga mereka kuasai. Taranak Rotulung atau Dotulong namanya, memerintah di wanua Kema. Dan Kema itulah pusat dari Pakasaan Tounsea’.
Maka wanua Kema, walau telah berkali-kali diserang oleh perompak-perompak, misalnya pada tahun 1677 dibakar oleh mereka, tetapi wanua Kema pun tetap berdiri tegar di tempatnya mula-mula.
Lapuran dari Tuan Gubernur Maluku di Ternate. Robertus Padtburgge namanya. Menurut tuturannya, pulau itu penting sekali dari ada sarang burung. Salimburung itulah nama burung berharga itu. Burung lelayang kecil itu yang memberikan lauk pauk itu pendek, kecil dan lebih menggemuk dan berparuh kecil, pipi hitam dengan suatu warna biru gelap mengkilap dan berekor pendek.
Pada tahun 1680 sampai tahun 1880, belum terdapat tanaman yang berarti di pulau Lembeh, kecuali sarang burung yang sangat mahal harganya. Delapan puluh pikul tiap tahun hasilnya. Pada tahun 1765 sampai tahun 1785 maka harga satu pon ada dua ringgit emas. Sebab itulah penjagaan di sana sangat ketat. Penjagaan ini dipegang oleh Ukung Um Balak Tonsea. Penjagaan ketat terhadap pulau Lembeh sejak tahun 1760 telah diserahkan sepenuhnya kepada Xaverius Dotulong.
Penduduk Tonsea tiada menerima penguasaan itu. Karena pulau itu milik Walak Tonsea. Pulau ini adalah tempat yang ditakuti, sebab terkadang menjadi sarang perompak Mangindano, Ternate, Tidore, kerajaan Utara dan lainnya.
Maka Ukung Tu’a Kema, Runtukahu namanya, bertanggung jawab atas keamanan di pulau itu. Maka anaknya pula kemudian menerima tanggung jawab itu. Ukung Tu’a Xaverius Dotulong namanya.
Maka Tuan Gubernur Maluku mengganti hak kuasa atas pengambilan sarang burung di pulau Lembeh menjadi hak milik dari walak Tounsea, khususnya keluarga Ukung Tu’a Xaverius Dotulong. Demikian keputusan itu telah dibuat dan diberikan di Ternate dalam Castel Oranye pada tanggal 17 April 1770 oleh Tuan Gubernur Maluku Hermanus Munnik.
Walaupun telah ada surat bukti penguasaan atas pulau Lembeh tersebut kepada Ukung Kema Xeverius Dotulong, maka Ukung Walak berjumlah enam walak. Mereka itulah Ukung Walak Manado, Bantik, Klabat Bawah, Ares, Klabat Atas dan Likupang.
Maka anak turunan dari Ukung Kema Xaverius Dotulong ini ada empat orang banyaknya. Merekalah Rumondor yang diseranikan menjadi Willem Dotulong beristri Wulan Wawolangi, Ukung Supit Dotulong beristri Ampe Walewangko, Watok Dotulong bersuami Dendeng, dan Lumolindim Dotulong bersuami Nelwan.
Maka anaknya Rumondor bernama serani Willem Dotulong menjadi Kepala Walak Tonsea. Adiknya menjadi Ukung Tu’a Kema, Supit Dotulong namanya.
Maka anak Rumondor bernama serani Willem Dotulong, berjumlah enam orang. Maka seorang anaknya bernama Waro’ Welong bernama serani Gerard Willem Dotulong kawin dengan nona Sonder, Porongkahu Walewangko namanya.
Maka anak Waro’ Welong bernama serani Gerard Willem Dotulong mempunyai enam orang anak banyaknya.
Maka seorang anaknya bernama Tololiu bernama serani Hermanus Willem Dotulong menjadi Kepala Walak Sonder. Tololiu itulah anak Welong, cucu Rumondor, cece Xaverius Dotulong, pemilik pulau Lembeh.
Tololiu bernama serani Hermanus Willem Dotulong inilah yang memimpin Pasukan Tulungan. Pasukan Tulungan sebanyak seribu ampat ratus orang banyaknya pergi menolong serdadu Belanda berperang melawan pemberontakan di Jawa. Pemberontakan itulah yang bernama Perang Jawa. Kemudian anak buahnya menangkap Pangeran pemberontak itu tahun 1930 dan mengasingkannya di Tondano.

Demikianlah hikayat pulau Lembeh, tanah milik orang Kema, yaitu tanah dari anak cucu Toar-Lumimuut
.

(30-31 Mei 2006)

===================================================================
"Tabea Waya!
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan, kisah dan kedudukan kaumnya di sepanjang masa!
Minahasa adalah bangsa yang basar!
Karena itu hargai akang torang pe Dotu-dotu deng samua yang dorang kase tinggal for torang!
Pakatuan wo pakalawiren!
Sa esa cita sumerar cita, sa cita sumerar esa cita! Kalu torang bersatu torang musti bapencar, biar lei torang bapencar torang tetap satu!
I Yayat U Santi!"
===================================================================

3 komentar:

  1. GOOOOOOODDDDDDDD,,,.,.,.
    sangat tertarik dengan semua yang ada dalam blok ini.....
    boleh tanya nda,.,.,??!!
    xaverius dotulong tuh di kubur dimana???

    BalasHapus
  2. Tabea
    salam kenal, nama saya Don Dengah, asal Kaima. kita cuma penasaran dengan Pingkan Matindas pe data dan juga foto itu sangat kurang. di mana kang boleh mo dapa data & foto lengkap tentang dorang?... makase sebelumnya.
    (saya juga adalah pemerhati adat Minahasa, kita Tonsea, Meitua Tontemboan)

    BalasHapus