Bangsa Minahasa
Setiap bangsa yang ingin mempertahankan jati dirinya, harus menghargai warisan suci tradisi dan budaya dari para leluhurnya; Kita (bangsa Minahasa) harus memelihara dan mempertahankan tradisi dan budaya bangsa Minahasa dengan segenap kemampuan dan semangat, karena semangat itu sendiri tidak lain mengandung tradisi dan budaya Minahasa. (Dr. Sam Ratulangi: Fikiran - 31 Mei 1930)
Saya tidak akan mempermasalahkan apakah keberadaan bangsa kami Minahasa disukai atau tidak, karena itu adalah permasalahan teoritis. Bagi saya dan bangsa saya Minahasa, sudah jelas, bahwa kami memiliki hak untuk eksis.
Jadi, tugas kami adalah bagaimana menjamin kelanjutan eksistensi bangsa Minahasa ini, dan sedapat mungkin memperkecil penetrasi asing. Kami berusaha untuk merumuskan suatu tujuan yang sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan rakyat kami dalam menjalankan tugas tadi. Dan agar usaha-usaha kami itu dapat diterima dan dihargai, kita perlu mengenal hal-hal yang mendasarinya, yaitu: posisi Minahasa selama ini terhadap negara-negara sekitarnya. ("Het Minahassisch Ideaal" / Cita-cita Minahasa oleh DR. GSSJ Ratu Langie, ‘s-Gravenhage, Belanda - 28 Maart 1914)
Saya tidak akan mempermasalahkan apakah keberadaan bangsa kami Minahasa disukai atau tidak, karena itu adalah permasalahan teoritis. Bagi saya dan bangsa saya Minahasa, sudah jelas, bahwa kami memiliki hak untuk eksis.
Jadi, tugas kami adalah bagaimana menjamin kelanjutan eksistensi bangsa Minahasa ini, dan sedapat mungkin memperkecil penetrasi asing. Kami berusaha untuk merumuskan suatu tujuan yang sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan rakyat kami dalam menjalankan tugas tadi. Dan agar usaha-usaha kami itu dapat diterima dan dihargai, kita perlu mengenal hal-hal yang mendasarinya, yaitu: posisi Minahasa selama ini terhadap negara-negara sekitarnya. ("Het Minahassisch Ideaal" / Cita-cita Minahasa oleh DR. GSSJ Ratu Langie, ‘s-Gravenhage, Belanda - 28 Maart 1914)
Kamis, 27 Maret 2014
Kasus Situs Mata Air Kaimeye dan Pinawelaan Kakaskasen I Tomohon
Kasus Situs Mata Air
Kaimeye dan Pinawelaan Kakaskasen I Tomohon
Oleh Bodewyn
Grey Talumewo
Tragedi
penistaan terhadap budaya Minahasa terjadi lagi di tanah Minahasa. Pada hari
Kamis, 13 September 2012 terjadi pembongkaran situs-situs budaya Minahasa yang
tergolong tua di antara situs-situs budaya Minahasa. Situs tersebut bernama
mata air Watu Kaimeya dan situs Pinawelaan. Sekelompok orang datang dengan
dikomando ibu Lurah Kakaskasen I, Emma Polii, dengan dalih kerja bakti mereka
melakukan pembongkaran situs. Pembongkaran itu sendiri turut didampingi aparat
keamanan Kapolsek Tomohon Utara AKP Roy Tangkuman dan Komandan Koramil Tomohon
Kapten Ahmad Nurdin.
Situs mata air
Watu Kaimeya dan Pinawelaan ini berada di sebelah timur kaki gunung Lokon dan
berada di bagian barat kelurahan Kakaskasen I dan Kinilow. Kedua desa ini
berada di bawah administrasi Kecamatan Tomohon Utara, Kota Tomohon.
Kaimeya berasal
dari bahasa Tombulu, ‘kai’ berarti ‘orang, kita semua, benih’, serta ‘meye’ yang berarti ‘yang didatangi’. ‘Kaimeye’ berarti ‘yang didatangi orang’, sehingga tempat ini berarti tempat bertemu dua kelompok (torang tu da bakumpul di
tampa ini). Tempat ini menjadi tempat
pertemuan dan perdamaian dari kedua tumpukan Pinontoan Lokon dan Rumengan dari
Mahawu, yang datang untuk berjanji hidup bersama serta menjadi tempat
sipat/batas berburu.
‘Pinawelaan’ juga berasal dari bahasa Tombulu, ‘wela’ berarti ‘belah’, ‘welana’ berarti ‘jiwa-jiwa yang penasaran akibat peperangan’. Pinawelaan menjadi tempat diakhirinya semua amarah, kebencian, dendam
dan jiwa yang penasaran serta panasnya ‘pengetahuan’ (pegangan ilmu) dalam peperangan terutama dalam Perang
Minahasa-Bolaang Mongondow. Di tempat ini ritual sumampet mawuri diadakan untuk
mengakhiri perang dalam mengakhiri amarah, jiwa penasaran dan lain-lain. ‘Sumampet’ sendiri berarti ‘akhiri’, dan ‘mawuri’ berasal dari kata ‘ma’uri’ atau
ritus perang (Ritual Mauri). Bode
Legenda orang
Tombulu menyebut bahwa Rumengan dan adiknya Pinontoan yang disebut Pinontoan
Lokon atau Opo Lokon Tu’a adalah anak dari Muntu-untu dan Rumintu’unan serta
cucu-cucu dari Toar-Lumimuut. Kedua kakak beradik ini tinggal di sekitar mata
air kaki gunung Lokon bersama kedua orang tua dan adik mereka bernama
Manarongsong. Setelah dewasa Rumengan mengambil Kati sebagai istrinya yang kemudian
berubah nama menjadi Katiwiey dan berpindah di sekitar gunung Rumengan dan
Mahawu serta menjadi penguasa tanah di daerah itu. Kati adalah anak dari
Soputan dan Pariwuan yang pada akhir hidupnya tinggal di sekitar gunung
Soputan. Anak Rumengan dan Katiwiey ialah Linouw, Matinempung dan lain-lain.
Adik Rumengan
bernama Pinontoan Lokon jatuh cinta dengan istrinya, Kati, sehingga membawa
larinya, yang kemudian diubah namanya menjadi Katiambilingan. Anak Pinontoan
dan Katiambilingan ialah dua anak laki-laki bernama Ahkaimbanua dan Singal
Pinontoan. Pinontoan tetap tinggal di dekat orang tuanya, di kaki gunung Lokon
dan menjadi penguasa tanah di situ.
Akibat Pinontoan
yang mengambil istri Rumengan maka berperang kedua bersaudara itu di daerah ‘Pinahwela’an’ (=tempat bergelut) kaki gunung Lokon. Pinontoan mengerahkan
kekuatannya dengan memuntahkan abu dari gunung Lokon untuk menyerang Rumengan,
namun ditahan oleh Rumengan dengan mengerahkan abu dari gunung Mahawu.
Akhirnya kedua
bersaudara itu dipertemukan dan berdamai di sebuah mata air yang dinamakan
kemudian sebagai Kaimeye, menjadi tempat
pertemuan dan perdamaian dari kedua tumpukan Pinontoan Lokon dan Rumengan, di
mana mereka datang untuk berjanji hidup bersama sekaligus menjadi tempat
sipat/batas berburu.
Legenda juga
menyebut bahwa di Watu Kaimeye ini tempat ikrar sumpah tersebut termasuk bila
sewaktu-waktu Lokon maupun Mahawu meletus, maka sumber muntahan material hanya
sampai di batas sipat yang sudah disepakati bersama ini. Sampai sekarang
terdapat dua bukti yakni batas dari Pinontoan dengan adanya dinding bebatuan
yang berjejer memanjang sebagai batas di sebelah barat Kameya dan di sebelah
timur merupakan batas sipat terdiri hanya dari dinding tanah saja, karena Lokon
mengeluarkan material bebatuan dan Mahawu hanya lumpur dan debu.
Keturunan
Pinontoan Lokon dari anaknya Ahkaimbanua, yaitu tonaas Pukul menjadi pemimpin
dan walian di pemukiman para turunan Pinontoan bernama pemukiman Maiesu
Kinilow. Letaknya berada di antara mata air Kaimeya dan Pinawelaan. Anak Pukul
dan istrinya Suanen ialah Rareseempung dan cucunya bernama Lumongdong menjadi
penerus kepala pemerintahan di daerah Kinilow Tu’a tersebut. Keturunan dari
Lumongdong bernama Mokoagow menjadi pendiri kampung Muung yang berkembang pesat
menjadi pemukiman utama Tou Muung, yang sekarang dikenal dengan nama Tomohon.
Keturunan
generasi ke-5 dan generasi ke-11 dari Opo Pinontoan Lokon bernama Opo Riri
Mokoagow dan Opo Sahiri Supit. Mokoagow menjadi pendiri Tou Muung serta menjadi
Kepala Walak Tomohon yang pertama. Opo Sahiri Supit menjadi Kepala Walak/Hukum
Majoor Tomohon antara tahun 1679-1738, sekaligus menjadi trio yang
menandatangani Kontrak Persahabatan Minahasa-Belanda tahun 1679 dan 1699,
sekaligus mengundang Kompeni Belanda bercokol di Minahasa.
Keturunan Opo
Pinontoan Lokon dan istrinya Katiambilingan yang terkenal adalah Opo Sahiri
Supit (keturunan generasi ke-11, asal usul fam Supit, waruganya di depan gereja
GMIM Eben Haezer Woloan), Kepala Walak/Hukum Majoor Ares Tololiu Supit
(keturunan ke-12, Kepala Walak Ares Manado sekitar tahun 1710), Hendrik Jacob
Werias Supit (keturunan ke-16, Majoor Walak Tondano antara 1848-1862, menangkap
Kyai Modjo dan Pangeran Diponegoro), Majoor A.L. Waworuntu (keturunan ke-16,
Majoor Sonder 1887-1890, anggota Volksraad), Ibu A.M. Tine Waworuntu (keturunan
ke-17, Walikota Manado tahun 1950-1951, merupakan walikota wanita pertama di
Indonesia), Mayoor Mangangantung yang dibaptis jadi
Ngantung Palar (keturunan ke-16, Kepala Walak/Majoor Tomohon antara tahun
1835-1853, waruganya terletak di depan pertigaan Matani
Tomohon), Rondonuwu dengan nama baptis Roland Ngantung (keturunan ke-17,
Kepala Walak/Majoor Tomohon antara tahun 1853-1860), Ir. Fred J. Inkiriwang
(keturunan ke-19, Menteri Perindustrian RI dalam Kabinet Karya/Djuanda tahun
1957-1959), Ds. A.Z.R. Wenas (keturunan ke-19, mantan Ketua Sinode GMIM),
Kolonel Alex E. Kawilarang (keturunan ke-20, Panglima Kodam Siliwangi dan
Panglima Besar Permesta), Jefferson S.M. Rumajar (keturunan ke-21, mantan
Walikota Tomohon), dan Dr. S.H. Sarundajang (keturunan ke-21, Gubernur Sulawesi
Utara). Juga Bode
Menurut versi
tonaas John Sondak, Ketua Umum organisasi budaya Minaesaan Tombulu, menyebutkan
bahwa di daerah Watu Kaimeya, ada satu batu
dari seorang dotu dari Cina yang berilmu tinggi yang datang di tanah Minahasa.
Leluhur Cina ini datang di sini secara gaib, kemungkinan selang setelah Karema
datang di Minahasa. Pada waktu dia berada di sekitar gunung Empung dan Lokon,
ia mendapatkan suatu perintah ilahi untuk mencari air di daerah yang sekarang
bernama kebun Taingkere, yang menjadi lokasi Kaimeya. Kaimeya berasal dari kata ‘kai’
= kami, ‘meya’ = ‘meye’ = datang.
Waktu orang Cina ini
sampai di Kaimeya terjadilah angin ribut angin berputar (bahasa Tombulu ‘pulizan’). Angin ini membongkar tanah di
sekitar Kaimeya dan akhirnya mengeluarkan beberapa mata air (kembuan) yang besar berair banyak. Ia
pun mandi di air yang keluar ini.
Hampir
selesai mandi muncul seorang putri dari khayangan serta mendengar tanda bunyi
seekor burung kiskis yang menandakan
kedatangan seorang putri tersebut. Secara spontan orang Cina ini berlari ke
arah utara dari tempat ia mandi dengan maksud untuk mengambil pakaiannya yang
diletakkan di situ karena leluhur ini masih dalam keadaan telanjang dan merasa
malu dengan kedatangan putri tersebut.
Sesampai
di tempat baju tersebut si orang Cina ini hilang secara misteri dan berubah
membentuk sebuah batu berupa seekor kura-kura. Saat kejadian ini juga muncul
angin ribut dan berputar-putar sehingga air di situ berubah menjadi kekuningan
(‘taingker’). Sekarang ada batu
berbentuk kura-kura mengarah ke arah utara dari tempat mandi mata air Kaimeye
ini.
Daerah
Watu Kaimeya ini juga terdapat batu yang berbentuk waruga yang merupakan batu
dari istri Dotu Pinontoan Lokon yakni Ambilingan yang hanya berjarak satu
langkah ke timur dari mata air ini begitu pula sebelah utaranya ada batu
sebagai penutup waruga. Selain itu masih banyak lagi beberapa batu tomotowa.
Tonaas
John Sondak menambahkan, dalam beberapa dekade akhirnya terjadi suatu
peperangan antara penguasa gunung Lokon yaitu Pinontoan dengan gunung Mahawu
bernama Rumengan sehingga daerah Watu Kaimeya inilah mata airnya semakin banyak
keluar hingga ke utara yang bernama Wulu
yang ada batu sarang. Tempat ini bernama wulu
karena dari masa itu sudah bertumbuh banyak pohon Bulu (bambu) di tempat ini. Wilayah ini sudah menjadi suatu sipat (batas) dari kedua penguasa Gunung
tersebut yang dinyatakan dalam sebuah janji sumpah (kase tiwa). Di Watu Kaimeya ini apabila ada orang datang mandi
biasanya seekor burung kiskis akan berbunyi dan memberikan tanda hingga saat
ini.
Legenda Minahasa
menuturkan bahwa timbulnya perang Minahasa–Bolaang Mongondow berawal dari kisah
Pingkan-Matindas. Pingkan Mogonunoy adalah seorang puteri dari Walak Tombariri
(dari Tombulu) yang tinggal di Mandolang dekat Tanawangko. Ia kawin dengan
Makaware’ Matindas asal Tonsea. Pingkan adalah cicit dari Opo Rumengan
(keturunan ke-4), dari garis Matinempung dan Walansendow (anak Lumalundung dan
Mamanua, kisah pancuran telaga Tumatenden) serta Pingkan dan suaminya Tou Ni
Singal. Istri Opo Lumi (Kepala Walak/Hukum Majoor Tomohon antara tahun
1623-1670) bernama Wue’ adalah keturunan ke-5 dari Pingkan dan Matindas. Opo
Lumi adalah Kepala Walak Tomohon yag disakiti serdadu Spanyol sehingga
membangkitkan amarah orang Tombulu, hingga berujung pada Perang
Minahasa-Spanyol antara tahun 1643/1644. Kepala Walak/Hukum Majoor Tomohon
antara tahun 1680-1725 yaitu Opo Paat, yang mengundang Belanda datang ke
Minahasa tahun 1654 adalah keturunan ke-6 dari Pingkan dan Matindas. Bode
Raja Mokoagow, yang
menjadi punu’ (=raja) Bolaang
Mongondow antara tahun 1600-1620, berusaha meminang Pingkan namun ditolak.
Pingkan melarikan diri ke Maadon di dekat Kema, namun Mokoagow mengejar mereka.
Sebagai jalan terakhir, Pingkan memperdaya Mokoagow sehingga ia dibunuh oleh
pasukannya sendiri yang tidak tahu bahwa yang
mereka bunuh adalah raja mereka sendiri.
Kematian raja Mokoagow
akhirnya diketahui oleh rakyat dan keluarganya di Mongondow. Maka timbullah
peperangan besar antara orang Minahasa dengan rakyat Bolaang-Mongondow. Dalam peperangan pertama di Maadon Kema, Pingkan dan
Matindas gugur dalam mempertahankan kehormatan bangsa
Minahasa. Pada mulanya
pasukan Mongondow hanya memerangi orang Tonsea, namun karena pasukan Mongondow
ini merampok dan merampas harta di seluruh tanah Minahasa, maka bersatulah
Tonsea, Tombulu, Toulour dan Tontemboan dan menyapu bersih seluruh pasukan
Bolaang-Mongondow dari tanah Malesung.
Sejumlah tonaas yang
memimpin peperangan melawan Bolaang-Mongondow adalah Worung, Wahani dan Mandagi
dari Tombulu; Kalesaran dari Tondano, Lengkong Wuaya dari Tonsea, Pelealu dan
Nangka dari Tontemboan.
Kematian raja Mokoagow
ini ditanggung oleh orang Tonsea, Tombulu dan Toulour karena Pingkan dan
Matindas adalah keturunan dan pemimpin dari ketiga daerah tersebut. Itulah sebabnya
mengapa Foso Mahapansah (pansa=tempat membuat api dari kayu yang
berbentuk segi empat yang diisi tanah, atau juga disebut dodika) yang diadakan tiap tahun, terakhir kali dilaksanakan pada
tahun 1870-an, hanya dilakukan oleh ketiga suku tersebut, sedangkan Tontemboan
hanya datang sebagai tamu pelengkap.
Untuk daerah Tombulu, Foso Mahapansa diadakan tiap tahun di
daerah Pinahwelaan Kakaskasen. Foso Mahapansa orang Tonsea dilakukan di daerah
Kinasempo’an antara desa Laikit dan Mapanget sekarang, dan orang Tondano
melakukannya di bukit Langkiman yang terletak di antara Kapataran dan Belang,
dengan pusat Foso Mahapansa berlokasi
di Ma’adon dekat Kema. Upacara posan ini dilakukan dengan inti foso mangelur, yaitu membujuk roh
leluhur atau roh Raja Mokoagow dari Mongondow agar tidak mengganggu kehidupan
orang Minahasa.
Pinawelaan
menjadi tempat diakhirinya semua amarah, kebencian, dendam dan jiwa yang
penasaran serta panasnya pengetahuan (pegangan ilmu) dalam peperangan terutama
dalam Perang Minahasa-Bolaang Mongondow. Di tempat ini ritual sumampet mawuri diadakan untuk mengakhiri perang dalam mengakhiri amarah, jiwa
penasaran dan lain-lain. Sumampet sendiri berarti
akhiri, mawuri berasal dari kata ma’uri atau ritus perang (Ritual Mauri). Pusat orang Tombulu melakukan ritual foso untuk mengakhiri perang
selalu dilakukan di Pinawelaan, sebelah barat Kakaskasen.
Kasus penistaan
terhadap situs budaya Tombulu di Kaimeya dan Pinawelaan pada hari Kamis, 13
September 2012 bermula dari peristiwa hari Minggu, 5 Agustus 2012. Pada waktu
itu Tonaas John Sondak, selaku Ketua Umum organisasi adat Minaesaan Tombulu,
melakukan perayaan Hari Jadi beliau yang ke-42 di Watu Kaimeya dengan sekitar
40-an orang lainnya. Acara makan bersama itu menggelar meja panjang lalu
meletakkan makanan dengan pengalas daun agar suasana tradisional lebih terasa.
Tonaas Jhon adalah orang yang merawat situs Kaimeye tersebut.
Acara makan
bersama dalam rangka Hari Jadi ini seperti biasa diawali dengan ibadah
kristiani singkat. Ibadah ini mendapat gangguan teriakan bakuku dari 4 orang pemuda tak dikenal. Mereka ini sedang bagate (mabuk-mabukan miras) di seberang telaga tempat mereka beracara, namun
gangguan ini tidak digubris pihak yang sedang beracara. Tonaas Jhon meminta
agar mereka menahan diri untuk tidak terpancing emosi, selain sejumlah orang
memperingatkan keempat pemuda mabuk miras tersebut agar tidak menggangu.
Puncak
ketegangan pun terjadi pada saat sedang ibadah tersebut. Di antara mereka yang
telah mabuk berat itu, seorang pemuda dengan membuka bajunya menantang
berkelahi dengan para peserta acara ibadah tersebut. Para peserta acara yang
kebanyakan adalah pemuda dan remaja terpancing emosi, tidak terima mereka
diganggu pada saat sedang beribadah. Secara spontan, mereka mengejar keempat
pemuda mabuk itu hingga seorang mabuk itu masuk di kamp Dinasty.
Di kamp Dinasty
tersebut ia menyembunyikan diri (dan disembunyikan) di dalam kamar. Karena para
oknum tidak berhasil ditemukan, spontan mereka menghancurkan apa saja yang
ditemui mereka, termasuk 16 kursi plastik merek Napoli warna coklat yang
kebetulan berada di dalam kamp Dinasty tersebut. Tonaas Jhon yang baru tiba
kemudian di tempat menyalahkan mereka karna merusak kursi dan perabotan
lainnya.
Naas bagi
mereka, ternyata kursi plastik tersebut milik kolom gereja setempat yang sedang
dipersiapkan untuk ibadah di situ. Kasus ini akhirnya berkembang menjadi “para
pengikut aliran sesat yang minum darah manusia mengganggu ibadah”.
Yang memperparah
kasus ini adalah kejadian yang menimpa Serka Marthen Kaawoan, anggota Babinsa
Koramil Tomohon. Ia menerima dua tikaman pisau secara beruntun pada bagian dada
kiri dan kanannya dari DT alias Gats, warga Matani I, pada hari Jumat 10
September 2012 sekitar pukul 1.30 Wita. Menurut cerita, tersangka tidak mempan ketika
akan dilumpuhkan, bahkan mengancam bahwa mereka punya banyak pengikut.
Cerita ini
membuat para penghayat budaya di Tomohon resah karena cerita ini seolah-olah
oknum tersebut adalah pengikut mereka.
Lurah Kakaskasen
I Kecamatan Tomohon Utara, Emma Polii, di mana kejadian perusakan kursi milik
jemaat setempat pun menggelar rapat untuk memaksa masyarakat merusak situs
Kaimeya akibat geram dengan kejadian sebelumnya. Pihak Koramil di bawah
pimpinan Kapten Ahmad Nurdin pun sama geram dengan peristiwa penikaman atas
anggotanya turut membantu aksi ini.
Pada hari Kamis,
13 September 2012, Lurah membawa sejumlah masyarakat dengan dalih untuk
melaksanakan kerja bakti di sekitar itu. Ketika melewati situs Watu Kaimeya
tersebut, sang Lurah dengan bantuan pengamanan dari Koramil dipimpin Danramil
Kapten Nurdin dan pihak Polsek Tomohon Utara dipimpin AKP Roy Tangkuman segera
membongkar situs bersejarah tersebut.
Walau demikian,
hanya sejumlah orang yang secara aktif membongkar situs itu, sedang sebagian
besar lainnya hanya menonton. Dari situs Watu Kaimeya, rombongan beralih ke
situs Pinawelaan yang tak jauh dari situ dengan tujuan yang sama. Menurut
informasi, masyarakat tersebut tidak jadi melakukan kerja bakti sesuai dengan
yang diumumkan aparat pemerintah.
Aparat berdalih
bahwa penistaan situs budaya Minahasa ini dilakukan dengan persetujuan antara
pihak tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat setempat. Pertanyaan logis:
Bila situs Watu Kameya dihancurkan atas alasan menista agama dan para pelaku di
tempat itu merupakan aliran sesat, bagaimana bila oknum tersebut melakukan
ritual di Kantor Lurah? Apakah kantor lurah tersebut harus dirusakkan? Bila
oknum tersebut melakukan ritual secara diam-diam di dalam gereja lalu aksinya
terbongkar, apakah gereja tempatnya melakukan ritual itu harus
dirusak/dihancurkan? Ini tak lain adalah upaya destruktif dan terhadap
sisa-sisa warisan budaya para leluhur.
Pembongkaran
pondok kecil di pusat mata air Pinawelaan Kelurahan Kakaskasen I, Kecamatan
Tomohon Utara oleh pemerintah, warga setempat, bersama aparat dari jajaran
Polres dan Koramil Kota Tomohon ini mendapat keluhan dari para pegiat budaya
Minahasa seperti para tonaas dan praktisi budaya Minahasa. Jhon Sondak (42
tahun) sebagai orang yang merawat situs Watu Kaimeya dan Anton Sulu (62 tahun)
pemilik lahan dan bangunan di Pinawelaan mengungkapkan kekecewaan terhadap
aparat yang seenaknya menghancurkan peninggalan adat-budaya Minahasa yang
bersejarah itu.
Menurut Anton
Sulu, bangunan tersebut berdiri di pusat mata air Pinawelaan, bukan sebagai
tempat ritual untuk membuat orang lain baik anak-anak maupun orang dewasa
menjadi kebal, tapi itu tempat untuk terapi dan mengobati orang sakit.
Menurutnya, di lokasi tersebut banyak ditanami tanaman obat-obatan, dan sudah
banyak warga yang disembuhkan. Tempat itu sejak dulu memang dianggap sakral,
dan dipercaya oleh leluhur serta dijadikan masyarakat sebagai tempat untuk
mengobati orang sakit, airnya dipercaya bisa menyembuhkan penyakit. Tempat ini
mirip dengan kolam Betesda yang berada di Yerusalem, seperti yang disebutkan
dalam kitab Yohanes 5:2-4.
Pembangunan
pondok itu menurut dia hanya untuk melengkapi tempat tersebut lebih
representatif, agar para pengunjung yang datang lebih nyaman untuk menikmati
keindahan alam di lokasi mata air tersebut. Menurutnya patung-patung yang ada
dalam pondok adalah patung Toar Lumimuut yang menggambarkan leluhur orang
Minahasa, dan bukan tempat untuk menyembah, namun agar orang yang berkunjung
tahu siapa leluhur orang Minahasa.
Om Anton merasa
kesal sebab pembongkaran dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu
kepadanya, apalagi tempat tersebut tak pernah digunakan untuk hal-hal yang
negatif. Lurah awalnya menginformasikan hanya akan kerja bakti di sekitar
lokasi tersebut, tapi ia kaget tiba-tiba tempat tersebut langsung dibongkar,
tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu, pada hal itu tak digunakan untuk
hal-hal yang negatif.
Hari Sabtu, 15
September 2012, saya dengan pengurus Aliansi Masyakarat Adat Nusantara (AMAN)
Sulawesi Utara dan Komunitas Adat Sarongsong melakukan rapat dengan sejumlah
praktisi budaya Minahasa seperti para tonaas, anggota komunitas adat, budayawan
Minahasa, sejarawan Minahasa, wartawan dan pengacara di kelurahan Kakaskasen
III. Rapat koordinasi ini berlangsung dari sore hingga malam, membahas
kronologi kejadian serta masalah hukum akibat perusakan situs Kaimeya serta
Pinawelaan, serta dengan koordinasi antar para tonaas untuk melakukan gugatan
sekaligus penggalangan persatuan di antara para tonaas.
Salah satu yang
dibahas adalah sebuah ironi penegak hukum: sistem “Mapalus Kamtibmas” yang diselenggarakan aparat Kepolisian Sulut dan aparat pemerintah
ternyata tidak lain untuk menghancurkan situs-situs budaya di Minahasa. Sebuah
ironi, bahwa mereka menggali budaya Minahasa untuk menghancurkan budaya
Minahasa itu sendiri.
Menurut
budayawan Fredy S. Wowor, adanya perusakan situs Kaimeya dan Pinawelaan
menyiratkan bahwa ada usaha sistematis untuk merusak ingatan Tou Minahasa akan
jati diri atau identitas hakikinya, untuk mendegenerasi eksistensi tou
Minahasa. Degenerasi ini adalah strategi sistematis untuk melenyapkan
keberadaan budaya Tou Minahasa. Strategi ini mengambil bentuk penghancuran
hubungan persaudaraan dari tou Minahasa dan tanahnya. Tou Minahasa akan
kehilangan sumber daya hidupnya.
Pada saat rapat
itulah, terjadi letusan dasyat gunung Lokon pada pukul 18.53, berupa letusan
bom vulkanik dengan tipe letusan strombolian, dengan lava pijar setinggi 600
meter dari bibir kawah. Letusan ini terdengar keras bahkan hingga di utara
Manado, membuat warga Tomohon panik dan berhamburan keluar rumah, karena
terdengar bunyi dentuman yang sangat keras dan getaran kuat hingga
menggentarkan rumah. Selanjutnya ada dua letusan susulan berskala kecil. Tinggi
abu yang dilontarkan sekitar 1.500 meter mengarah ke utara di Manado dan abu
tersebut menimpa kelurahan Kinilow. Sebelum terjadi letusan sudah ada
gempa-gempa sejak jam 8.30 pagi.
Kejadian letusan
ini dihubung-hubungkan dengan peristiwa perusakan situs di kaki Lokon yang baru
lalu. Sejumlah warga menyebut bahwa “Opo Lokon marah karena lokasi sakralnya
dirusakkan warga setempat”. Letusan ini mirip dengan peristiwa tahun 1958 yang
lalu ketika terjadi letusan hebat dan terakhir dalam abad XX dari gunung
Mahawu. Letusan akhir bulan Juli dan awal Agustus 1958 tersebut memuntahkan
cairan belerang ke arah barat yang menimpa pondok para pengungsi akibat perang Pergolakan
Permesta 1958-1961 dan pemukiman Kakaskasen. Orang
Tomohon menghubung-hubungkan
peristiwa ini dengan
pengkhianatan Mayor Eddy Mongdong ke pihak lawan, yaitu Tentara Pusat Jakarta. (Bodewyn Grey Talumewo)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
teirma kasih banyak karena sudah berbagi berita yang sangat menarik. zaman sekarang sudah jarang menemukan blog yang isinya penuh manfaat seperti ini, keren!!
BalasHapusbagus sekali informasi yg agan berikan ini. Jelsa sekali sangat menarik dan bermanfaat. thanks gan!! Thanks banget!! ijin share berbagi info :)
BalasHapusTerimakasih atas semua artikel bermanfaat yang sudah anda publikasikan melalui blog yang menarik ini, saya tunggu postingan selanjutnya, have a nice day, kawan :)
BalasHapusyang mengaku keturunan Minahasa perlu belajar akan hal2 seperti ini. Histori.
BalasHapus