Bangsa Minahasa

Setiap bangsa yang ingin mempertahankan jati dirinya, harus menghargai warisan suci tradisi dan budaya dari para leluhurnya; Kita (bangsa Minahasa) harus memelihara dan mempertahankan tradisi dan budaya bangsa Minahasa dengan segenap kemampuan dan semangat, karena semangat itu sendiri tidak lain mengandung tradisi dan budaya Minahasa. (Dr. Sam Ratulangi: Fikiran - 31 Mei 1930)

Saya tidak akan mempermasalahkan apakah keberadaan bangsa kami Minahasa disukai atau tidak, karena itu adalah permasalahan teoritis. Bagi saya dan bangsa saya Minahasa, sudah jelas, bahwa kami memiliki hak untuk eksis.
Jadi, tugas kami adalah bagaimana menjamin kelanjutan eksistensi bangsa Minahasa ini, dan sedapat mungkin memperkecil penetrasi asing. Kami berusaha untuk merumuskan suatu tujuan yang sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan rakyat kami dalam menjalankan tugas tadi. Dan agar usaha-usaha kami itu dapat diterima dan dihargai, kita perlu mengenal hal-hal yang mendasarinya, yaitu: posisi Minahasa selama ini terhadap negara-negara sekitarnya.
("Het Minahassisch Ideaal" / Cita-cita Minahasa oleh DR. GSSJ Ratu Langie, ‘s-Gravenhage, Belanda - 28 Maart 1914)

Kamis, 27 Maret 2014

Kasus Situs Mata Air Kaimeye dan Pinawelaan Kakaskasen I Tomohon



Kasus Situs Mata Air Kaimeye dan Pinawelaan Kakaskasen I Tomohon

Oleh Bodewyn Grey Talumewo


Tragedi penistaan terhadap budaya Minahasa terjadi lagi di tanah Minahasa. Pada hari Kamis, 13 September 2012 terjadi pembongkaran situs-situs budaya Minahasa yang tergolong tua di antara situs-situs budaya Minahasa. Situs tersebut bernama mata air Watu Kaimeya dan situs Pinawelaan. Sekelompok orang datang dengan dikomando ibu Lurah Kakaskasen I, Emma Polii, dengan dalih kerja bakti mereka melakukan pembongkaran situs. Pembongkaran itu sendiri turut didampingi aparat keamanan Kapolsek Tomohon Utara AKP Roy Tangkuman dan Komandan Koramil Tomohon Kapten Ahmad Nurdin.
Situs mata air Watu Kaimeya dan Pinawelaan ini berada di sebelah timur kaki gunung Lokon dan berada di bagian barat kelurahan Kakaskasen I dan Kinilow. Kedua desa ini berada di bawah administrasi Kecamatan Tomohon Utara, Kota Tomohon.
Kaimeya berasal dari bahasa Tombulu, ‘kai’ berarti ‘orang, kita semua, benih’, serta ‘meye’ yang berarti ‘yang didatangi’. ‘Kaimeye’ berarti ‘yang didatangi orang’, sehingga tempat ini berarti tempat bertemu dua kelompok (torang tu da bakumpul di tampa ini). Tempat ini menjadi tempat pertemuan dan perdamaian dari kedua tumpukan Pinontoan Lokon dan Rumengan dari Mahawu, yang datang untuk berjanji hidup bersama serta menjadi tempat sipat/batas berburu.
Pinawelaan’ juga berasal dari bahasa Tombulu, ‘wela’ berarti ‘belah’, ‘welana’ berarti ‘jiwa-jiwa yang penasaran akibat peperangan’. Pinawelaan menjadi tempat diakhirinya semua amarah, kebencian, dendam dan jiwa yang penasaran serta panasnya ‘pengetahuan’ (pegangan ilmu) dalam peperangan terutama dalam Perang Minahasa-Bolaang Mongondow. Di tempat ini ritual sumampet mawuri diadakan untuk mengakhiri perang dalam mengakhiri amarah, jiwa penasaran dan lain-lain. ‘Sumampet’ sendiri berarti ‘akhiri’, dan ‘mawuri’ berasal dari kata ‘ma’uri’ atau ritus perang (Ritual Mauri). 
Legenda orang Tombulu menyebut bahwa Rumengan dan adiknya Pinontoan yang disebut Pinontoan Lokon atau Opo Lokon Tu’a adalah anak dari Muntu-untu dan Rumintu’unan serta cucu-cucu dari Toar-Lumimuut. Kedua kakak beradik ini tinggal di sekitar mata air kaki gunung Lokon bersama kedua orang tua dan adik mereka bernama Manarongsong. Setelah dewasa Rumengan mengambil Kati sebagai istrinya yang kemudian berubah nama menjadi Katiwiey dan berpindah di sekitar gunung Rumengan dan Mahawu serta menjadi penguasa tanah di daerah itu. Kati adalah anak dari Soputan dan Pariwuan yang pada akhir hidupnya tinggal di sekitar gunung Soputan. Anak Rumengan dan Katiwiey ialah Linouw, Matinempung dan lain-lain.
Adik Rumengan bernama Pinontoan Lokon jatuh cinta dengan istrinya, Kati, sehingga membawa larinya, yang kemudian diubah namanya menjadi Katiambilingan. Anak Pinontoan dan Katiambilingan ialah dua anak laki-laki bernama Ahkaimbanua dan Singal Pinontoan. Pinontoan tetap tinggal di dekat orang tuanya, di kaki gunung Lokon dan menjadi penguasa tanah di situ.
Akibat Pinontoan yang mengambil istri Rumengan maka berperang kedua bersaudara itu di daerah ‘Pinahwela’an’ (=tempat bergelut) kaki gunung Lokon. Pinontoan mengerahkan kekuatannya dengan memuntahkan abu dari gunung Lokon untuk menyerang Rumengan, namun ditahan oleh Rumengan dengan mengerahkan abu dari gunung Mahawu.
Akhirnya kedua bersaudara itu dipertemukan dan berdamai di sebuah mata air yang dinamakan kemudian sebagai Kaimeye, menjadi tempat pertemuan dan perdamaian dari kedua tumpukan Pinontoan Lokon dan Rumengan, di mana mereka datang untuk berjanji hidup bersama sekaligus menjadi tempat sipat/batas berburu.
Legenda juga menyebut bahwa di Watu Kaimeye ini tempat ikrar sumpah tersebut termasuk bila sewaktu-waktu Lokon maupun Mahawu meletus, maka sumber muntahan material hanya sampai di batas sipat yang sudah disepakati bersama ini. Sampai sekarang terdapat dua bukti yakni batas dari Pinontoan dengan adanya dinding bebatuan yang berjejer memanjang sebagai batas di sebelah barat Kameya dan di sebelah timur merupakan batas sipat terdiri hanya dari dinding tanah saja, karena Lokon mengeluarkan material bebatuan dan Mahawu hanya lumpur dan debu.
Keturunan Pinontoan Lokon dari anaknya Ahkaimbanua, yaitu tonaas Pukul menjadi pemimpin dan walian di pemukiman para turunan Pinontoan bernama pemukiman Maiesu Kinilow. Letaknya berada di antara mata air Kaimeya dan Pinawelaan. Anak Pukul dan istrinya Suanen ialah Rareseempung dan cucunya bernama Lumongdong menjadi penerus kepala pemerintahan di daerah Kinilow Tu’a tersebut. Keturunan dari Lumongdong bernama Mokoagow menjadi pendiri kampung Muung yang berkembang pesat menjadi pemukiman utama Tou Muung, yang sekarang dikenal dengan nama Tomohon.
Keturunan generasi ke-5 dan generasi ke-11 dari Opo Pinontoan Lokon bernama Opo Riri Mokoagow dan Opo Sahiri Supit. Mokoagow menjadi pendiri Tou Muung serta menjadi Kepala Walak Tomohon yang pertama. Opo Sahiri Supit menjadi Kepala Walak/Hukum Majoor Tomohon antara tahun 1679-1738, sekaligus menjadi trio yang menandatangani Kontrak Persahabatan Minahasa-Belanda tahun 1679 dan 1699, sekaligus mengundang Kompeni Belanda bercokol di Minahasa.
Keturunan Opo Pinontoan Lokon dan istrinya Katiambilingan yang terkenal adalah Opo Sahiri Supit (keturunan generasi ke-11, asal usul fam Supit, waruganya di depan gereja GMIM Eben Haezer Woloan), Kepala Walak/Hukum Majoor Ares Tololiu Supit (keturunan ke-12, Kepala Walak Ares Manado sekitar tahun 1710), Hendrik Jacob Werias Supit (keturunan ke-16, Majoor Walak Tondano antara 1848-1862, menangkap Kyai Modjo dan Pangeran Diponegoro), Majoor A.L. Waworuntu (keturunan ke-16, Majoor Sonder 1887-1890, anggota Volksraad), Ibu A.M. Tine Waworuntu (keturunan ke-17, Walikota Manado tahun 1950-1951, merupakan walikota wanita pertama di Indonesia), Mayoor Mangangantung yang dibaptis jadi Ngantung Palar (keturunan ke-16, Kepala Walak/Majoor Tomohon antara tahun 1835-1853, waruganya terletak di depan pertigaan Matani Tomohon), Rondonuwu dengan nama baptis Roland Ngantung (keturunan ke-17, Kepala Walak/Majoor Tomohon antara tahun 1853-1860), Ir. Fred J. Inkiriwang (keturunan ke-19, Menteri Perindustrian RI dalam Kabinet Karya/Djuanda tahun 1957-1959), Ds. A.Z.R. Wenas (keturunan ke-19, mantan Ketua Sinode GMIM), Kolonel Alex E. Kawilarang (keturunan ke-20, Panglima Kodam Siliwangi dan Panglima Besar Permesta), Jefferson S.M. Rumajar (keturunan ke-21, mantan Walikota Tomohon), dan Dr. S.H. Sarundajang (keturunan ke-21, Gubernur Sulawesi Utara).
Menurut versi tonaas John Sondak, Ketua Umum organisasi budaya Minaesaan Tombulu, menyebutkan bahwa di daerah Watu Kaimeya, ada satu batu dari seorang dotu dari Cina yang berilmu tinggi yang datang di tanah Minahasa. Leluhur Cina ini datang di sini secara gaib, kemungkinan selang setelah Karema datang di Minahasa. Pada waktu dia berada di sekitar gunung Empung dan Lokon, ia mendapatkan suatu perintah ilahi untuk mencari air di daerah yang sekarang bernama kebun Taingkere, yang menjadi lokasi Kaimeya. Kaimeya berasal dari kata ‘kai’ = kami, ‘meya’ = ‘meye’ = datang
Waktu orang Cina ini sampai di Kaimeya terjadilah angin ribut angin berputar (bahasa Tombulu ‘pulizan’). Angin ini membongkar tanah di sekitar Kaimeya dan akhirnya mengeluarkan beberapa mata air (kembuan) yang besar berair banyak. Ia pun mandi di air yang keluar ini. 
Hampir selesai mandi muncul seorang putri dari khayangan serta mendengar tanda bunyi seekor burung kiskis yang menandakan kedatangan seorang putri tersebut. Secara spontan orang Cina ini berlari ke arah utara dari tempat ia mandi dengan maksud untuk mengambil pakaiannya yang diletakkan di situ karena leluhur ini masih dalam keadaan telanjang dan merasa malu dengan kedatangan putri tersebut. 
Sesampai di tempat baju tersebut si orang Cina ini hilang secara misteri dan berubah membentuk sebuah batu berupa seekor kura-kura. Saat kejadian ini juga muncul angin ribut dan berputar-putar sehingga air di situ berubah menjadi kekuningan (‘taingker’). Sekarang ada batu berbentuk kura-kura mengarah ke arah utara dari tempat mandi mata air Kaimeye ini. 
Daerah Watu Kaimeya ini juga terdapat batu yang berbentuk waruga yang merupakan batu dari istri Dotu Pinontoan Lokon yakni Ambilingan yang hanya berjarak satu langkah ke timur dari mata air ini begitu pula sebelah utaranya ada batu sebagai penutup waruga. Selain itu masih banyak lagi beberapa batu tomotowa. 
Tonaas John Sondak menambahkan, dalam beberapa dekade akhirnya terjadi suatu peperangan antara penguasa gunung Lokon yaitu Pinontoan dengan gunung Mahawu bernama Rumengan sehingga daerah Watu Kaimeya inilah mata airnya semakin banyak keluar hingga ke utara yang bernama Wulu yang ada batu sarang. Tempat ini bernama wulu karena dari masa itu sudah bertumbuh banyak pohon Bulu (bambu) di tempat ini. Wilayah ini sudah menjadi suatu sipat (batas) dari kedua penguasa Gunung tersebut yang dinyatakan dalam sebuah janji sumpah (kase tiwa). Di Watu Kaimeya ini apabila ada orang datang mandi biasanya seekor burung kiskis akan berbunyi dan memberikan tanda hingga saat ini.

Legenda Minahasa menuturkan bahwa timbulnya perang Minahasa–Bolaang Mongondow berawal dari kisah Pingkan-Matindas. Pingkan Mogonunoy adalah seorang puteri dari Walak Tombariri (dari Tombulu) yang tinggal di Mandolang dekat Tanawangko. Ia kawin dengan Makaware’ Matindas asal Tonsea. Pingkan adalah cicit dari Opo Rumengan (keturunan ke-4), dari garis Matinempung dan Walansendow (anak Lumalundung dan Mamanua, kisah pancuran telaga Tumatenden) serta Pingkan dan suaminya Tou Ni Singal. Istri Opo Lumi (Kepala Walak/Hukum Majoor Tomohon antara tahun 1623-1670) bernama Wue’ adalah keturunan ke-5 dari Pingkan dan Matindas. Opo Lumi adalah Kepala Walak Tomohon yag disakiti serdadu Spanyol sehingga membangkitkan amarah orang Tombulu, hingga berujung pada Perang Minahasa-Spanyol antara tahun 1643/1644. Kepala Walak/Hukum Majoor Tomohon antara tahun 1680-1725 yaitu Opo Paat, yang mengundang Belanda datang ke Minahasa tahun 1654 adalah keturunan ke-6 dari Pingkan dan Matindas.
Raja Mokoagow, yang menjadi punu’ (=raja) Bolaang Mongondow antara tahun 1600-1620, berusaha meminang Pingkan namun ditolak. Pingkan melarikan diri ke Maadon di dekat Kema, namun Mokoagow mengejar mereka. Sebagai jalan terakhir, Pingkan memperdaya Mokoagow sehingga ia dibunuh oleh pasukannya sendiri yang tidak tahu bahwa yang mereka bunuh adalah raja mereka sendiri.
Kematian raja Mokoagow akhirnya diketahui oleh rakyat dan keluarganya di Mongondow. Maka timbullah peperangan besar antara orang Minahasa dengan rakyat Bolaang-Mongondow. Dalam peperangan pertama di Maadon Kema, Pingkan dan Matindas gugur dalam mempertahankan kehormatan bangsa Minahasa. Pada mulanya pasukan Mongondow hanya memerangi orang Tonsea, namun karena pasukan Mongondow ini merampok dan merampas harta di seluruh tanah Minahasa, maka bersatulah Tonsea, Tombulu, Toulour dan Tontemboan dan menyapu bersih seluruh pasukan Bolaang-Mongondow dari tanah Malesung.
Sejumlah tonaas yang memimpin peperangan melawan Bolaang-Mongondow adalah Worung, Wahani dan Mandagi dari Tombulu; Kalesaran dari Tondano, Lengkong Wuaya dari Tonsea, Pelealu dan Nangka dari Tontemboan.
Kematian raja Mokoagow ini ditanggung oleh orang Tonsea, Tombulu dan Toulour karena Pingkan dan Matindas adalah keturunan dan pemimpin dari ketiga daerah tersebut. Itulah sebabnya mengapa Foso Mahapansah (pansa=tempat membuat api dari kayu yang berbentuk segi empat yang diisi tanah, atau juga disebut dodika) yang diadakan tiap tahun, terakhir kali dilaksanakan pada tahun 1870-an, hanya dilakukan oleh ketiga suku tersebut, sedangkan Tontemboan hanya datang sebagai tamu pelengkap. 
Untuk daerah Tombulu, Foso Mahapansa diadakan tiap tahun di daerah Pinahwelaan Kakaskasen. Foso Mahapansa orang Tonsea dilakukan di daerah Kinasempo’an antara desa Laikit dan Mapanget sekarang, dan orang Tondano melakukannya di bukit Langkiman yang terletak di antara Kapataran dan Belang, dengan pusat Foso Mahapansa berlokasi di Ma’adon dekat Kema. Upacara posan ini dilakukan dengan inti foso mangelur, yaitu membujuk roh leluhur atau roh Raja Mokoagow dari Mongondow agar tidak mengganggu kehidupan orang Minahasa. 
Pinawelaan menjadi tempat diakhirinya semua amarah, kebencian, dendam dan jiwa yang penasaran serta panasnya pengetahuan (pegangan ilmu) dalam peperangan terutama dalam Perang Minahasa-Bolaang Mongondow. Di tempat ini ritual sumampet mawuri diadakan untuk mengakhiri perang dalam mengakhiri amarah, jiwa penasaran dan lain-lain. Sumampet sendiri berarti akhiri, mawuri berasal dari kata ma’uri atau ritus perang (Ritual Mauri). Pusat orang Tombulu melakukan ritual foso untuk mengakhiri perang selalu dilakukan di Pinawelaan, sebelah barat Kakaskasen.
Kasus penistaan terhadap situs budaya Tombulu di Kaimeya dan Pinawelaan pada hari Kamis, 13 September 2012 bermula dari peristiwa hari Minggu, 5 Agustus 2012. Pada waktu itu Tonaas John Sondak, selaku Ketua Umum organisasi adat Minaesaan Tombulu, melakukan perayaan Hari Jadi beliau yang ke-42 di Watu Kaimeya dengan sekitar 40-an orang lainnya. Acara makan bersama itu menggelar meja panjang lalu meletakkan makanan dengan pengalas daun agar suasana tradisional lebih terasa. Tonaas Jhon adalah orang yang merawat situs Kaimeye tersebut.
Acara makan bersama dalam rangka Hari Jadi ini seperti biasa diawali dengan ibadah kristiani singkat. Ibadah ini mendapat gangguan teriakan bakuku dari 4 orang pemuda tak dikenal. Mereka ini sedang bagate (mabuk-mabukan miras) di seberang telaga tempat mereka beracara, namun gangguan ini tidak digubris pihak yang sedang beracara. Tonaas Jhon meminta agar mereka menahan diri untuk tidak terpancing emosi, selain sejumlah orang memperingatkan keempat pemuda mabuk miras tersebut agar tidak menggangu.
Puncak ketegangan pun terjadi pada saat sedang ibadah tersebut. Di antara mereka yang telah mabuk berat itu, seorang pemuda dengan membuka bajunya menantang berkelahi dengan para peserta acara ibadah tersebut. Para peserta acara yang kebanyakan adalah pemuda dan remaja terpancing emosi, tidak terima mereka diganggu pada saat sedang beribadah. Secara spontan, mereka mengejar keempat pemuda mabuk itu hingga seorang mabuk itu masuk di kamp Dinasty.
Di kamp Dinasty tersebut ia menyembunyikan diri (dan disembunyikan) di dalam kamar. Karena para oknum tidak berhasil ditemukan, spontan mereka menghancurkan apa saja yang ditemui mereka, termasuk 16 kursi plastik merek Napoli warna coklat yang kebetulan berada di dalam kamp Dinasty tersebut. Tonaas Jhon yang baru tiba kemudian di tempat menyalahkan mereka karna merusak kursi dan perabotan lainnya.
Naas bagi mereka, ternyata kursi plastik tersebut milik kolom gereja setempat yang sedang dipersiapkan untuk ibadah di situ. Kasus ini akhirnya berkembang menjadi “para pengikut aliran sesat yang minum darah manusia mengganggu ibadah”.
Yang memperparah kasus ini adalah kejadian yang menimpa Serka Marthen Kaawoan, anggota Babinsa Koramil Tomohon. Ia menerima dua tikaman pisau secara beruntun pada bagian dada kiri dan kanannya dari DT alias Gats, warga Matani I, pada hari Jumat 10 September 2012 sekitar pukul 1.30 Wita. Menurut cerita, tersangka tidak mempan ketika akan dilumpuhkan, bahkan mengancam bahwa mereka punya banyak pengikut.
Cerita ini membuat para penghayat budaya di Tomohon resah karena cerita ini seolah-olah oknum tersebut adalah pengikut mereka. 
Lurah Kakaskasen I Kecamatan Tomohon Utara, Emma Polii, di mana kejadian perusakan kursi milik jemaat setempat pun menggelar rapat untuk memaksa masyarakat merusak situs Kaimeya akibat geram dengan kejadian sebelumnya. Pihak Koramil di bawah pimpinan Kapten Ahmad Nurdin pun sama geram dengan peristiwa penikaman atas anggotanya turut membantu aksi ini.
Pada hari Kamis, 13 September 2012, Lurah membawa sejumlah masyarakat dengan dalih untuk melaksanakan kerja bakti di sekitar itu. Ketika melewati situs Watu Kaimeya tersebut, sang Lurah dengan bantuan pengamanan dari Koramil dipimpin Danramil Kapten Nurdin dan pihak Polsek Tomohon Utara dipimpin AKP Roy Tangkuman segera membongkar situs bersejarah tersebut. 
Walau demikian, hanya sejumlah orang yang secara aktif membongkar situs itu, sedang sebagian besar lainnya hanya menonton. Dari situs Watu Kaimeya, rombongan beralih ke situs Pinawelaan yang tak jauh dari situ dengan tujuan yang sama. Menurut informasi, masyarakat tersebut tidak jadi melakukan kerja bakti sesuai dengan yang diumumkan aparat pemerintah.
Aparat berdalih bahwa penistaan situs budaya Minahasa ini dilakukan dengan persetujuan antara pihak tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat setempat. Pertanyaan logis: Bila situs Watu Kameya dihancurkan atas alasan menista agama dan para pelaku di tempat itu merupakan aliran sesat, bagaimana bila oknum tersebut melakukan ritual di Kantor Lurah? Apakah kantor lurah tersebut harus dirusakkan? Bila oknum tersebut melakukan ritual secara diam-diam di dalam gereja lalu aksinya terbongkar, apakah gereja tempatnya melakukan ritual itu harus dirusak/dihancurkan? Ini tak lain adalah upaya destruktif dan terhadap sisa-sisa warisan budaya para leluhur.
Pembongkaran pondok kecil di pusat mata air Pinawelaan Kelurahan Kakaskasen I, Kecamatan Tomohon Utara oleh pemerintah, warga setempat, bersama aparat dari jajaran Polres dan Koramil Kota Tomohon ini mendapat keluhan dari para pegiat budaya Minahasa seperti para tonaas dan praktisi budaya Minahasa. Jhon Sondak (42 tahun) sebagai orang yang merawat situs Watu Kaimeya dan Anton Sulu (62 tahun) pemilik lahan dan bangunan di Pinawelaan mengungkapkan kekecewaan terhadap aparat yang seenaknya menghancurkan peninggalan adat-budaya Minahasa yang bersejarah itu.
Menurut Anton Sulu, bangunan tersebut berdiri di pusat mata air Pinawelaan, bukan sebagai tempat ritual untuk membuat orang lain baik anak-anak maupun orang dewasa menjadi kebal, tapi itu tempat untuk terapi dan mengobati orang sakit. Menurutnya, di lokasi tersebut banyak ditanami tanaman obat-obatan, dan sudah banyak warga yang disembuhkan. Tempat itu sejak dulu memang dianggap sakral, dan dipercaya oleh leluhur serta dijadikan masyarakat sebagai tempat untuk mengobati orang sakit, airnya dipercaya bisa menyembuhkan penyakit. Tempat ini mirip dengan kolam Betesda yang berada di Yerusalem, seperti yang disebutkan dalam kitab Yohanes 5:2-4.
Pembangunan pondok itu menurut dia hanya untuk melengkapi tempat tersebut lebih representatif, agar para pengunjung yang datang lebih nyaman untuk menikmati keindahan alam di lokasi mata air tersebut. Menurutnya patung-patung yang ada dalam pondok adalah patung Toar Lumimuut yang menggambarkan leluhur orang Minahasa, dan bukan tempat untuk menyembah, namun agar orang yang berkunjung tahu siapa leluhur orang Minahasa.
Om Anton merasa kesal sebab pembongkaran dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepadanya, apalagi tempat tersebut tak pernah digunakan untuk hal-hal yang negatif. Lurah awalnya menginformasikan hanya akan kerja bakti di sekitar lokasi tersebut, tapi ia kaget tiba-tiba tempat tersebut langsung dibongkar, tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu, pada hal itu tak digunakan untuk hal-hal yang negatif. 
Hari Sabtu, 15 September 2012, saya dengan pengurus Aliansi Masyakarat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Utara dan Komunitas Adat Sarongsong melakukan rapat dengan sejumlah praktisi budaya Minahasa seperti para tonaas, anggota komunitas adat, budayawan Minahasa, sejarawan Minahasa, wartawan dan pengacara di kelurahan Kakaskasen III. Rapat koordinasi ini berlangsung dari sore hingga malam, membahas kronologi kejadian serta masalah hukum akibat perusakan situs Kaimeya serta Pinawelaan, serta dengan koordinasi antar para tonaas untuk melakukan gugatan sekaligus penggalangan persatuan di antara para tonaas. 
Salah satu yang dibahas adalah sebuah ironi penegak hukum: sistem “Mapalus Kamtibmas” yang diselenggarakan aparat Kepolisian Sulut dan aparat pemerintah ternyata tidak lain untuk menghancurkan situs-situs budaya di Minahasa. Sebuah ironi, bahwa mereka menggali budaya Minahasa untuk menghancurkan budaya Minahasa itu sendiri. 
Menurut budayawan Fredy S. Wowor, adanya perusakan situs Kaimeya dan Pinawelaan menyiratkan bahwa ada usaha sistematis untuk merusak ingatan Tou Minahasa akan jati diri atau identitas hakikinya, untuk mendegenerasi eksistensi tou Minahasa. Degenerasi ini adalah strategi sistematis untuk melenyapkan keberadaan budaya Tou Minahasa. Strategi ini mengambil bentuk penghancuran hubungan persaudaraan dari tou Minahasa dan tanahnya. Tou Minahasa akan kehilangan sumber daya hidupnya. 
Pada saat rapat itulah, terjadi letusan dasyat gunung Lokon pada pukul 18.53, berupa letusan bom vulkanik dengan tipe letusan strombolian, dengan lava pijar setinggi 600 meter dari bibir kawah. Letusan ini terdengar keras bahkan hingga di utara Manado, membuat warga Tomohon panik dan berhamburan keluar rumah, karena terdengar bunyi dentuman yang sangat keras dan getaran kuat hingga menggentarkan rumah. Selanjutnya ada dua letusan susulan berskala kecil. Tinggi abu yang dilontarkan sekitar 1.500 meter mengarah ke utara di Manado dan abu tersebut menimpa kelurahan Kinilow. Sebelum terjadi letusan sudah ada gempa-gempa sejak jam 8.30 pagi. 
Kejadian letusan ini dihubung-hubungkan dengan peristiwa perusakan situs di kaki Lokon yang baru lalu. Sejumlah warga menyebut bahwa “Opo Lokon marah karena lokasi sakralnya dirusakkan warga setempat”. Letusan ini mirip dengan peristiwa tahun 1958 yang lalu ketika terjadi letusan hebat dan terakhir dalam abad XX dari gunung Mahawu. Letusan akhir bulan Juli dan awal Agustus 1958 tersebut memuntahkan cairan belerang ke arah barat yang menimpa pondok para pengungsi akibat perang Pergolakan Permesta 1958-1961 dan pemukiman Kakaskasen. Orang Tomohon menghubung-hubungkan peristiwa ini dengan pengkhianatan Mayor Eddy Mongdong ke pihak lawan, yaitu Tentara Pusat Jakarta. (Bodewyn Grey Talumewo) 

NB: Ada yang salah dengan cerita ini. Karena narasumber hanya dari kalangan Minaesaan TOmbulu, saya tidak sempat mengonfirmasi dari pihak Lurah Kakaskasen I cs. Menurut cerita baru yang saya dapat, Minaesaan Tombulu-lah yang lebig\h dahulu memprovokasi peribadatan kolom

5 komentar:

  1. semoga dapat bermanfaat buat kita semua. Amin . . . . artikelntya sangat bagus sekali. Senang sekali berkunjung ke website anda.

    BalasHapus
  2. teirma kasih banyak karena sudah berbagi berita yang sangat menarik. zaman sekarang sudah jarang menemukan blog yang isinya penuh manfaat seperti ini, keren!!

    BalasHapus
  3. infonya sangat bermanfaat sekali gan, makasih. beritanya bagus dan sangat menarik sekali untuk di baca. Ijin share ya gan, thanks..

    BalasHapus
  4. terima kasih atas informasinya. Sukses ya..!! Dan Terimakasih banyak telah berbagi informasnya, Semoga Makin Keren selalu untuk info beserta websitenya,,

    BalasHapus
  5. teirma kasih banyak karena sudah berbagi berita yang sangat menarik. zaman sekarang sudah jarang menemukan blog yang isinya penuh manfaat seperti ini, keren!!

    BalasHapus