Bangsa Minahasa

Setiap bangsa yang ingin mempertahankan jati dirinya, harus menghargai warisan suci tradisi dan budaya dari para leluhurnya; Kita (bangsa Minahasa) harus memelihara dan mempertahankan tradisi dan budaya bangsa Minahasa dengan segenap kemampuan dan semangat, karena semangat itu sendiri tidak lain mengandung tradisi dan budaya Minahasa. (Dr. Sam Ratulangi: Fikiran - 31 Mei 1930)

Saya tidak akan mempermasalahkan apakah keberadaan bangsa kami Minahasa disukai atau tidak, karena itu adalah permasalahan teoritis. Bagi saya dan bangsa saya Minahasa, sudah jelas, bahwa kami memiliki hak untuk eksis.
Jadi, tugas kami adalah bagaimana menjamin kelanjutan eksistensi bangsa Minahasa ini, dan sedapat mungkin memperkecil penetrasi asing. Kami berusaha untuk merumuskan suatu tujuan yang sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan rakyat kami dalam menjalankan tugas tadi. Dan agar usaha-usaha kami itu dapat diterima dan dihargai, kita perlu mengenal hal-hal yang mendasarinya, yaitu: posisi Minahasa selama ini terhadap negara-negara sekitarnya.
("Het Minahassisch Ideaal" / Cita-cita Minahasa oleh DR. GSSJ Ratu Langie, ‘s-Gravenhage, Belanda - 28 Maart 1914)

Kamis, 27 Maret 2014

Mera’ Waruga di Lotta Pineleng Heboh



Mera’ Waruga di Lotta Pineleng Heboh

 oleh Bode Grey Talumewo

Kegiatan Mera’ waruga di Wanua Ure Lotta kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa berlangsung heboh. Hal ini tak lepas dari bentuk acara yang unik, jarang terjadi di lokasi ini. Kegiatan ini disponsori kelompok penari kabasaran “Waraney Wuaya” asal Warembungan pimpinan tonaas Christian Rinto Taroreh.
Pemindahan kubur batu atau sarkofagus Minahasa, yang dalam bahasa daerah Minahasa disebut mera’ waruga adalah sebuah kegiatan yang dahulunya bertujuan melestarikan keberadaan kubur dari tokoh adat tertentu. Kini tujuannya lebih terarah kepada pelestarian artefak budaya Minahasa yang hampir punah akiba pengaruh modernisasi dan perongrongan agama yang disebarkan pihak Barat. Pengrusakan terhadap identitas budaya Minahasa ini tak lepas dari ulah tangan-tangan jahil warga sekitar yang menjarah artefak kuno untuk tujuan komersial.
Lokasi bekas pemukiman tua (Wanua Ure) Walak Kakaskasen di kawasan selatan Manado ini dahulunya bernama Kali. Setelah sempat ditinggalkan penduduknya pasca Perang Tombulu – Spanyol tahun 1643/1644, lokasi ini dihuni lagi dan dinamakan kampung Lotta. Tempat ini menjadi pusat pemerintahan Walak Kakaskasen pada masa kepemimpinan Kolano Masairi Parengkuan abad XVIII. Tempat ini ditinggalkan penghuninya sekitar tahun 1906 akibat wabah penyakit menuju lokasi yang sekarang dikenal dengan nama Pineleng. Walak Kakaskasen kemudian berkembang menjadi Distrik Kakaskasen yang membawahi kampung-kampung Timoe lotta, Amian Lotta, Kakaskassang, Tateli, Koka, Warenboengan, Tinoor, Kinilow. Walak Kakaskasen lama dahulunya meliputi daerah Manado dan Wori serta Likupang barat. Daripadanya berkembang Walak Manado, Walak Ares, Walak Kalawat Bawah. Kini daerah itu meliputi kecamatan Tomohon Utara, kecamatan Pineleng, kecamatan Tombulu, kecamatan Wori, kecamatan Likupang Barat serta seluruh Kota Manado.
Wanua Ure Kali/Lotta dapat ditempuh kira-kira 10 menit dari Terminal Karombasan, terminal arah selatan dari kota Manado. Cukup merogoh kocek Rp 3.500,- bila melewati jurusan jalan raya Manado-Tomohon via kendaraan penumpang Manado-Warembungan dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 100 meter ke arah timur lewat jalan setapak. Bisa juga merogoh kocek Rp 2.500,- bila akan menggunakan kendaraan trayek Manado-Pineleng dilanjutkan dengan ojek Lotta Rp 5.000,-. Cukup mengatakan “Turun di gereja Pantekosta” lalu ikut jalan kebun ke arah barat sekitar 100 meter.
Tonaas Rinto, begitu sapaannya, menggerakkan anggota Waraney Wuaya beserta simpatisan dan anggota Mawale Movement untuk merehabilitasi identitas kompleks pemukiman lama Kali/Lotta tersebut. Awal bulan Oktober 2011 mereka mulai memindahkan atap waruga ke lokasi rehabilitasi sebanyak 5 buah, termasuk di antaranya waruga milik Opo Sahiri Parengkuan yang diperkirakan meninggal tahun 1775.
Kegiatan pemindahan ini sudah didahului dengan pengangkatan kepala waruga yang berfungsi sebagai atap-penutup waruga ke posisi semula tanggal 23 Juli 2011 yang lalu. Selanjutnya diteruskan dengan mera’ waruga di Popareng pada 13 Agustus, mera’ lisung di kompleks Watu Nietakan kecamatan Tompasobaru tanggal 11 September dan 9 Oktober 2011. Watu Nietakan ini dipercaya secara turun-temurun sebagai lokasi pemukiman awal leluhur bangsa Minahasa, keluarga Toar-Lumimuut. Bode
Dengan peralatan seadanya berupa batang kayu dan bambu yang diikat dengan tali plastik labrang, para sukarelawan memindahkan waruga ke lokasi yang jaraknya sekitar 1-30 meter dari tempat awal. Hal ini tampak pada saat bulan purnama tanggal 12-13 Oktober 2011 dengan mengikuti penanggalan dan kebiasaan masyarakat Minahasa purba. Begitupun kegiatan sebelumnya, bulan purnama jatuh tanggal 13 Agustus malam dan 11 September (H -1 purnama). “Ada sekitar 3 bulan vol torang da kase pindah tu waruga-waruga ini ” aku Tonaas Rinto. Memang dibutuhkan waktu, tenaga dan akal untuk memindahkan waruga-waruga ini.
Pemindahan waruga ini tak lepas dari pengamatan warga sekitar. Tak heran, pemilik tanah dari lokasi konservasi waruga ini milik ayah dari Hukum Tua desa Pineleng II. Sempat terjadi penolakan dari warga sekitar mengenai kegiatan mera’ waruga ini. Alasannya bermacam-macam, mulai dari ijin dari pemerintah lokal atau lembaga terkait, status kepemilikan tanah dari lokasi awal waruga, hingga ke persoalan yang menyerempet agama. Bagi para pemrotes belakangan, apa yang dilakukan Tonaas Rinto dan kawan-kawan dinilai melecehkan martabat agama Kristen yang dianut warga sekitar.
Tonaas Rinto juga mengeluh, “Napa tu keluarga Robert Mainalo Sahiri Parengkuan na baku ambe deng warga sekitar soal tanah rawa ‘Telaga Mas’ di sebelah barat laut, mar enter mo lia akang tu dorang pe dotu pe waruga mar nyanda!”.
Memang ada 14 waruga yang dipindahkan dalam di Wanua Ure Kali/Lotta Pineleng ini. Yang dapat diidentifikasi adalah waruga milik dari Opo Majoor Kolano Sahiri/Masairi Parengkuan, seorang Kepala Walak Kakaskasen yang memerintah Kakaskasen sekitar tahun 1730-1760, Majoor Pangemanan yang memerintah sekitar tahun 1790-1800, Majoor Sangian Mainalo Parengkuan kepala Kakaskasen sekitar tahun 1800-1830 (dahulu orang mengira waruga keduanya adalah milik dari Opo Montolalu, seorang Kepala Walak Kakaskasen) dan Rori Lumanauw, Rori Winowatan, Wawo Mangundap dan istrinya Mene, Mainalo tua, Roring Impal, Liuw muda, dan Opo Wongkar Sayouw alias Wongkar Saruan. Waruga Opo Wongkar Sayouw menjadi fokus dan fenomenal. Tak heran, banyak orang menduga waruga ini milik dari Opo Sahiri Parengkuan, seorang ‘pahlawan’ dari Kakaskasen. Waruga ini tertanam di dalam tanah sedalam > 3 meter. 
Opo Wongkar Sayouw muncul dalam sejarah perjuangan bangsa Minahasa sebagai seorang pahlawan dalam mengusir serdadu Spanyol waktu perang Minahasa-Spanyol tahun 1643/1644. Namanya juga muncul dalam perang Minahasa-Bolaang Mongondow waktu mengalahkan Raja Loloda Mokoagouw (Datu Binangkang). (Bode Talumewo)

4 komentar:

  1. Terimakasih atas informasinya :) semoga sukses slalu .. Ditunggu informasi menarik selanjutnya :) senang berkunjung ke website anda, terimakasih.

    BalasHapus
  2. Postingan ini sangat bermanfaat, memberikan informasi mengenai hal yang belum diketahui. Semoga postingan ini bisa memberikan motivasi untuk selalu ingin tahu.

    BalasHapus