Bangsa Minahasa

Setiap bangsa yang ingin mempertahankan jati dirinya, harus menghargai warisan suci tradisi dan budaya dari para leluhurnya; Kita (bangsa Minahasa) harus memelihara dan mempertahankan tradisi dan budaya bangsa Minahasa dengan segenap kemampuan dan semangat, karena semangat itu sendiri tidak lain mengandung tradisi dan budaya Minahasa. (Dr. Sam Ratulangi: Fikiran - 31 Mei 1930)

Saya tidak akan mempermasalahkan apakah keberadaan bangsa kami Minahasa disukai atau tidak, karena itu adalah permasalahan teoritis. Bagi saya dan bangsa saya Minahasa, sudah jelas, bahwa kami memiliki hak untuk eksis.
Jadi, tugas kami adalah bagaimana menjamin kelanjutan eksistensi bangsa Minahasa ini, dan sedapat mungkin memperkecil penetrasi asing. Kami berusaha untuk merumuskan suatu tujuan yang sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan rakyat kami dalam menjalankan tugas tadi. Dan agar usaha-usaha kami itu dapat diterima dan dihargai, kita perlu mengenal hal-hal yang mendasarinya, yaitu: posisi Minahasa selama ini terhadap negara-negara sekitarnya.
("Het Minahassisch Ideaal" / Cita-cita Minahasa oleh DR. GSSJ Ratu Langie, ‘s-Gravenhage, Belanda - 28 Maart 1914)

Rabu, 17 Desember 2008

Tjahaja Siang - Dari Penginjil ke Sekuler Progresif

Tjahaja Siang
Dari Penginjil ke Sekuler Progresif


Awal kali terbit, surat kabar Tjahaja Siang dibawah payung misionaris Gereja, Kristen. Nicolaas Graafland, seorang ahli pedagogi Belanda adalah peletak batu fondasi pertama. Lahirlah Tjahaja Siang sebagai pembawa kabar-kabar injil dan motor penyebaran ajaran Kristen Protestan di Sulawesi Utara. Dan di tengah jalan, kendali surat kabar ini beralih ke tangan-tangan Melayu Pribumi dan Tionghoa. Dari nas-nas Injil ke nas-nas kemerdekaan.

Nomor perkenalan (proefnummer) keluar di bulan September tahun 1868. Baru lima bulan kemudian, dikeluarkan edisi pertama pada 20 Januari 1869, dengan bunyi tagline “Kertas Chabar Minahasa”. Nicolaas Graafland adalah orang berperan besar di balik penerbitannya. Sejak itu, Minahasa benar-benar jadi embrio utama berkembangnya Tjahaja Siang dan ajaran-ajaran Kristen Protestan di daerah Sulawesi Utara.

Ajaran-ajaran kristen, berita-berita di seputar aktivitas Gereja mulai terlihat 1 bulan setelah nomor pertama keluar, pada bulan Februari 1869. Teks-teks kotbah, bahasan ayat-ayat Alkitab, artikel-artikel mengenai kegerejaan, atau kabar-kabar keagamaan diterbitkan di Tjahaja Siang pada dalam halaman ekstra atau nomor tambahan. Selain sebagai media penyebar nilai-nilai Kristen (Protestan), nas-nas Alkitab dan berita-berita gereja itu, Graafland ingin mengibaskan “kegelapan” penduduk, membuka dunia sempit jadi terbuka lebar. Yang terbelakang berubah maju. Maka ia mendirikan lampu penerang dengan nama “Tjahaja Siang”.

Di tempat itu Graafland juga bekerja menyiapkan sekolah-sekolah dan tenaga-tenaga ahli di dunia pendidikan. Sekitar tahun 1909, orang-orang yang telah dipersiapkan itu mulai berdatangan. Selain ahli injil dan pengajar, mereka pun masuk ke barisan redaksi Tjahaja Siang. Diantaranya, H.J. Tendeloo, H.C. Kruyt, J. Louwerier,E.W.G. Graflaand, putra dari Nicolaas Graflaand, dan J. Ten Hove. Kedatangan orang-orang ini menghembuskan angin perubahan. Kabar-kabar Alkitab atau peristiwa di seputar keagamaan tak lagi dibuatkan nomor tersendiri, nomor khusus, bisa jadi bukti nyata dari perubahan di tubuh Tjahaja Siang.

Sekitar 1920, redaksi Tjahaja Siang telah dipimpin oleh putra Minahasa dari Amoerang, H.W. Soemoelang. Di jajaran pembantu redaksi (medewerkers), para misionaris dan orang-orang boemipoetera setempat bergabung bersama. Seperti, J.A. Frederik, S. Sondakh, A.J.H.W. Kawilarang, H. Loing Jz., Z. Taloemepa, A.A. Maramis, W. Wangke, A. Wartabone.

Di barisan administratie orang-orang boemipoetera lebih dominan. Administrateur H.W. Soemoelang dibantu oleh Vertegenwoordigers, yaitu P. Siwu Sonder, A.M. Pangkeji. N. Potu dari Tomohon. D. Th. Notten, untuk Wasian Kakas, W. Angke dan G.J. Lumanauw untuk Tondano, A.A. Maramis di Menado, J. Tampenawas di Kakas, Dd. Pangemanan Gorontalo. Lalu W. Dunnebier, di Pasi (Bolaang Mongondou), M.P. Sinjal di Balikpapan, dan W. Maukar, Taroena voor Sangir eil.

Pada tahun 1921 terjadi pergantian kemudi, dan tokoh boemipetera setempat kembali memimpin barisan redaksi. Sebabnya adalah terjadi kekosongan di kursi pemimpin redaksi. Pada tanggal 11 Mei 1921 H.W. Soemoelang, yang juga pemimpin KPM di Amurang, telah meninggal dunia di usia 48 tahun. Seorang yang telah dikenal reputasinya di barisan redaksi dan pembandtu administratie untuk daerah Menado naik menggantikan posisinya. Dia adalah A.A. Maramis.

Satu metamorfose Tjahaja Siang juga terlihat pada perusahaan percetakannya. Pertama kali surat kabar dicetak di Tanawangko yang dipimpin oleh H. Bettink. Perusahaan ini yang menanggungjawab terbitan, yang dikenal sebagai “Penara & Pengeluar Tjahaja Siang”. Kemudian pada 1899, perusahaan ini berpindah tangan kepada Cvd Roest Jr. di Menado.

Percetakan surat kabar ini akhirnya dipegang juga oleh pihak bangsa Melayu Tionghoa. Pada tahun 1919 Liem Oei Tiong terlihat di dalam masthead sebagai kepala drukker, Handeldrukkerij Liem Oei Tiong & Co di Menado. Selain itu Liem juga menjadi Vertegenwoordiger dan Administratie buat biro Menado.

Sejak terjadinya suatu rotasi redaksi sekitar tahun 1920 itu, isi dan haluan Tjahaja Siang berubah. Berita-berita mengenai penduduk Minahasa dan derah lain banyak terekspos. Pejabat-pejabat pemerintah Hindia mulai menjadi konsumsi publik. Harga beras yang mahal, penduduk yang kelaparan, pejabat yang bertindak semena-mena semakin sering terlihat dalam lembaran-lembaran koran. Pertemuan-pertemuan masyarakat adat, aktivitas perhimpunan Minahasa, dan dunia pergerakan kebangsaan tampil di muka halaman, yang sesekali bersanding dengan bahasan ayat-ayat Alkitab yang tak lagi mendominasi koloman surat kabar.

Barangkali metamorfose redaksi surat kabar ini dalam bahasa yang dipakai. Di awal muncul dipakai bahasa Belanda dan Melayu. Bahasa Melayu di surat kabar ini lain dari umumnya, karena ditulis oleh orang Belanda yang belum lama tinggal di Hindia. Meski mereka mulai mempelajarinya, mereka tampak kaku dan terbatas kosakata maupun gaya Melayu. Bahasa Melayu tampak lain lagi ketika dipegang redaksinya oleh boemipoetera (Minahasa).

Surat kabar ini merupakan satu penerbitan yang sehat dan kuat bisnis ekonominya. Sirkulasi iklan tampak lancar dan jadi penyokong ongkos produksi. Sebuah korang yang hidupnya sangat lama, sejak terbit 1868, pembaca di Minahasa dan daerah Hindia masih menerima Tjahaja Siang pada 1927. Dan Tjahaja Siang menjadi koran kedua yang pertama terbit di luar Jawa. Sedang di Sulawesi, ia menjadi surat kabar pertama dan paling tua.

Keluar sebulan dua kali, dengan memberikan harga abonnement sebesar 4 rupiah untuk satu tahun dan paling sedikit berlangganan satu tahun. Saat itu, empat rupiah dapat beras sekitar 15 kilogram. Sedang tarif iklannya atau istilahnya harga pemberitahoean besarnya 50 cent buat 1 sampai 10 perkataan. Minimal pelanggan pemberitahoean keluarkan ongkos satu rupiah, dengan kasih kemudahan besaran huruf dan kolom tak dihitung. (Basilius Triharyanto)

Sumber : ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar