Bangsa Minahasa

Setiap bangsa yang ingin mempertahankan jati dirinya, harus menghargai warisan suci tradisi dan budaya dari para leluhurnya; Kita (bangsa Minahasa) harus memelihara dan mempertahankan tradisi dan budaya bangsa Minahasa dengan segenap kemampuan dan semangat, karena semangat itu sendiri tidak lain mengandung tradisi dan budaya Minahasa. (Dr. Sam Ratulangi: Fikiran - 31 Mei 1930)

Saya tidak akan mempermasalahkan apakah keberadaan bangsa kami Minahasa disukai atau tidak, karena itu adalah permasalahan teoritis. Bagi saya dan bangsa saya Minahasa, sudah jelas, bahwa kami memiliki hak untuk eksis.
Jadi, tugas kami adalah bagaimana menjamin kelanjutan eksistensi bangsa Minahasa ini, dan sedapat mungkin memperkecil penetrasi asing. Kami berusaha untuk merumuskan suatu tujuan yang sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan rakyat kami dalam menjalankan tugas tadi. Dan agar usaha-usaha kami itu dapat diterima dan dihargai, kita perlu mengenal hal-hal yang mendasarinya, yaitu: posisi Minahasa selama ini terhadap negara-negara sekitarnya.
("Het Minahassisch Ideaal" / Cita-cita Minahasa oleh DR. GSSJ Ratu Langie, ‘s-Gravenhage, Belanda - 28 Maart 1914)

Rabu, 17 Desember 2008

Kongres/Musyawarah Watu Pinawetengan

Kongres/Musyawarah Watu Pinawetengan

Tanggapan berita Ikrar Watu Pinawetengan


Saya secara tidak sengaja membaca harian Komentar edisi Jumat, 7 Januari 2005. Di situ tertulis sebuah berita mengenai pertemuan yang diadakan oleh Theo Tumion di Tomohon. Dia mengatakan bahwa akan menyelenggarakan Ikrar Watu Pinawetengan II.
Dikatakan pula bahwa Ikrar Watu Pinawetengan sebelummnya telah dilakukan oleh leluhur orang Minahasa yang disebut sebagai Ikrar Watu Pinawetengan, yang bertujuan untuk membagi Tanah Minahasa ke dalam sembilan sub-etnis.

Saya membantah hal ini. Jelas sekali pengetahuan mengenai sejarah Minahasanya begitu dangkal. Pertemuan di Watu Pinawetengan yang pertama kali tersebut (dianggap) untuk membagi Tanah Minahasa ke dalam 4 bagian utama para teranak/keluarga besar dari anak-anak Toar-Lumimuut. Mereka adalah teranak/keluarga besar Toumbulu (Tombulu), Tontewoh (Tonsea), Tompakewa, Tumaratas (Toulour). Sehingga suku asli Minahasa keturunan Toar (ayah) dan Lumimuut (ibu) hanyalah empat suku, yaitu Tontemboan, Tombulu, Tonsea, dan Toulour.


Suku luar pertama yang dianggap sebagai orang Malesung (Minahasa purba) adalah Tondano. Mereka bergabung dengan suku Tumaratas menjadi suku Toulour. Mereka dianggap datang dan mendarat di Tanjung Pulisan di Minahasa Utara dan menetap di wilayah yang diapar (dimiliki/hak milik) oleh orang Tonsea. Mereka berpindah tempat beberapa kali sampai akhirnya mereka menetap di pinggiran Danau Tondano dan menamakan dirinya orang Tondano. Orang Malesung menyebut mereka orang Toulour. Mereka diwajibkan memasukkan semacam pajak atau imbalan karena mendiami tanah yang diapar oleh orang Tonsea. Mereka mendirikan rumah di atas danau. Pada masa Belanda, mereka dipaksa untuk meninggalkan cara tersebut dan mendirikan rumah di darat, yaitu di kota Tondano saat ini. Suku Tontewoh berganti nama menjadi Tonsea pada saat Verbond 10 Januari 1679, sedangkan suku Tompakewa mulai menggunakan nama Tontemboan pada tahun 1875.

Suku lainnya bergabung dengan "Minahasa" (orang Tomohon menyebut Minaesa menjadi Minahesa, dan orang Belanda mengambil cara pengucapan tersebut menjadi Minahasa) adalah Tonsawang, Ratahan, Pasan, Ponosakan, Bantik seiring masa Belanda dan pasca Perang Minahasa-Bolmong yang terakhir.

Berbicara mengenai Musyawarah di Watu Pinawetengan, (dalam beberapa tulisan) sebenarnya sudah terjadi sebanyak tujuh kali pertemuan, yaitu:

Musyawarah I
diadakan untuk pembagian Tanah Minahasa oleh keturunan Toar-Lumimuut yang berpusat di Tumaratas saat itu. Berdasarkan penyelidikan J.G.F.Riedel dari silsilah para tokoh-tokoh Musyawarah I tersebut dari para penutur sejarah silsilah Minahasa, didapati 40 silsilah dan ia berkesimpulan kejadian tersebut terjadi sekitar tahun 670 Masehi. Hal ini dilaporkan dalam Bataviaach Genootschap terbitan tahun 1898.

Musyawarah II
diadakan sekitar tahun 1428-1450. Pertemuan ini dilakukan untuk mempersatukan percekcokan antar suku. Pada pertemuan inilah lahir kata Minaesa (Maesa) dan istilah Watu Pinawetengan i Nuwu (menurut para penginjil Riedel dan Schwarz).

Musyawarah III
diadakan tahun 1642 atau 1654. Pertemuan ini diselenggarakan oleh para Tonaas, Teterusan dan Walian guna mencari kata sepakat untuk mengusir orang Spanyol dari tanah Minahasa dan dicatat dengan goresan di batu tersebut. Pada pertemuan ini lahir istilah Watu Pakaeuran Unnuwu yaitu batu tempat memusyawarahkan pembicaraan-pembicaraan. Pertemuan ini memutuskan: (1) mengusir orang Spanyol dari Tanah Minahasa, dan (2) memerangi seluruh orang Spanyol di Minahasa. Hal ini dipicu oleh tindakan Spanyol (Tasikela) sendiri. Selain mereka diharuskan membayar upeti perlawanan timbul karena orang Spanyol menghina dan menggangu penduduk serta para wanita tetap Minahasa diganggu mereka.
Perlawanan orang Tomohon yang dikenal dengan Perang Tombulu-Spanyol terjadi berawal tanggal 10 Agustus 1643. Waktu itu orang Spanyol hendak mengangkat seorang raja untuk Minahasa yaitu Mainalo asal Kinilow yang merupakan keturunan Spanyol-Tombulu. Ukung (kepala negeri) Toumuhung, Lumi menolak permintaan tersebut sehinga seorang serdadu Spanyol menampar pipinya sampai terjatuh. Ia dan seluruh keluarganya naik darah dan mengangkat senjata terhadap orang Spanyol dan hal ini meluas pada rakyat sehingga menimbulkan pemberontakan. Sejumlah 19 orang Spanyol dipancung seketika dan 22 orang ditawan. Seluruhnya ada 44 orang dipancung dan dimakan kepalanya sesudah dipanggang masak. Hal ini membuat Spanyol tidak berani menginjakkan kakinya di Minahasa. Kisah ini ditulis oleh Pater Yranzo di Filipina dan diterjemahkan oleh misionaris Katolik Belanda ke dalam bahasa Belanda saat menginjil pada tahun 1800-an saat agama Katolik diijinkan pemerintah Hindia Belanda. kemudian Tahun 1651 mereka muncul lagi di Minahasa. Hanya orang Tondano yang tetap menyatakan simpati pada mereka. Namun 9 tahun kemudian mereka meninggalkan Minahasa selain juga karena Minahasa mendapat bantuan Belanda untuk mengusir mereka.

Musyawarah IV
diadakan pada saat terjadinya Perang Minahasa-Bolaang Mongondow (Bolmong) tahun 1655-1693 terhadap Raja Loloda Mokoagow (Datuk Binangkang) dan pasukan Bantik. Pertemuan ini untuk memusyawarahkan persatuan dan kesatuan kembali suku-suku Minahasa serta strategi perang. Hal ini dicatat dengan goresan pada Watu Pinawetengan.
Perang ini telah dimulai pada saat pemerintahan Raja Bolmong Dodi Mokoagow, Raja Tadohe yang kemudian dilanjutkan oleh Raja Loloda Mokoagow alias Datuk Binangkang. Pada saat itu, masing-masing suku tidak saling melindungi dan menghormati. Bila pasukan Bolmong yang dikejar orang Tonsea memasuki wilayah orang Tombulu maka mereka tidak akan melanjutkan pengejarannya. Begitu pula bila pasukan Bolmong lari dari kejaran orang Tombulu lalu masuk di wilayah orang Tontemboan maka pengejaran orang Tombulu itupun otomatis dihentikan.

Dengan musyawarah kebulatan tekad persatuan kali ini berakhir dengan kemenangan orang Minahasa. Raja Loloda Mokoagow yang hendak berperang kembali dengan Minahasa pada bulan Juni 1693 di Tompaso berhasil dipukul mundur oleh gabungan serikat suku-suku Minahasa. Pada bulan September 1694 diadakan perdamaian atas desakan VOC. Dalam perdamaian tersebut ditentukan perbatasan Minahasa dengan Bolaang Mongondow ialah sungai Poigar sampai Tanjung Poigar.
Baru pada tahun 1756 perbatasan Minahasa dan Bolmong ditetapkan lebih jelas lagi dalam kontrak VOC dan Bolmong. Wilayah Bolaang tidak boleh melalui negeri (desa) Poigar, Pontak dan Buyat, sedangkan Minahasa tidak boleh melewati Ponosakan, Tonsawang dan Amurang. Waktu itu wilayah Tonsawang, Ratahan, Pasan, Ponosakan dan lembah sungai Ranoyapo dikuasai oleh Kerajaan Bolaang Mongondow. Tahun 1670 Kerajaan Manado (Kerajaan Bolmong) berakhir dan menjadi suatu walak yaitu Walak Manado. Pada kontrak perdamaian dan persahabatan tanggal 10 Januari 1679 antara Minahasa dan VOC, Minahasa mengakui kekuasaan VOC sebagai teman. Kontrak ini berlaku juga untuk suku Bantik (di Manado), Tonsawang, Ponosakan, Ratahan. Namun tahun 1683 mereka menolak VOC dan tetap memihak Bolmong. VOC mengatasinya dengan membakar negeri Ratahan dan Pasan. Dalam pertempuran ersebut 5 orang pemimpin dari Pasan tewas seta menewaskan 40 orang dalam pengungsian. Sesudahnya ekspedisi VOC ini dilanjutkan ke daerah Tonsawang. Sejak saat itu wilayah Tonsawang, Ratahan, Pasan dan Ponosakan secara de facto termasuk ke dalam wilayah Minahasa.

Musyawarah V
diadakan tahun 1807 pada saat terjadinya Perang Tondano-Belanda II tahun 1808-1809. Pada masa Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.W. Daendels berkuasa, ia menganjurkan agar dibentuk sebuah pasukan tambahan untuk menumpas pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di seluruh wilayah Hindia Belanda dengan mengerahkan orang Maluku dan Minahasa. Di Minahasa alkan dikerahkan 2000 orang pemuda. Pengerahan ini menjadi pokok utama dalam perlawanan suku Tondano. Dalam rapat yang diadakan oleh Residen Manado, kepala walak Tondano tidak hadir lagi. Mereka menyampaikan alasan-alasan yaitu rakyat Tondano tidak setuju menjadi serdadu Belanda, rakyat Tondano menghentikan pemasukan bekal untuk tentara keamanan kora-kora karena dalam kenyataan pembajakan di Minahasa terutama bajak laut Mangindano masih tetap ada, serta kontrak tahun 1679 mengenai peraturan pemasukan beras tidak ditaati oleh Belanda. Perang Tondano sendiri mulai pada akhir bulan Oktober 1808. Walak Tondano dibantu oleh beberapa walak lainnya terutama Walak Tomohon. Perang ini berakhir dengan kekalahan benteng Moraya di Minawanua Tondano tanggal 4 Agustus 1809 dengan menewaskan hampir seluruh penduduk. Baru pada tahun 1812 negeri Tondano yang baru didirikan.

Musyawarah VI
diadakan tahun 1939 atas prakarsa dari Dr. G.S.S.J. Ratulangi sebagai anggota GAPI Pusat. Ia mengumpulkan wakil-wakil dari seluruh pakasaan di Minahasa. Pertemuan ini ditujukan untuk memohon restu suksesnya perjuangan GAPI yang menuntut Indonesia berparlemen dalam kerangka self government-nya. Akhirnya Indonesia (Hindia Belanda) memiliki sebuah parlemen yang bernama Volksraad (=Dewan Rakyat atau DPR sekarang).

Musyawarah VII
diadakan musyawarah besar tanggal 25 Agustus 1945 oleh para pemimpn Minahasa saat itu untuk kebulatan tekad dan mohon restu akan suatu negara Indonesia merdeka.

Watu Pinawetengan sendiri sempat ditutupi timbunan tanah dan semak belukar. Abu letusan Gunung Soputan yang terjadi pada tahun-tahun 1785-86, 1819, 1833/38, 1845, 1890, 1906 sempat menimbuninya. Letusan 1832-33 sedemikian hebatnya sehingga menutupi sumur-sumur (parigi) yang berada pada jarak sekitar 18 km dari Gunung Soputan. Penginjil Jan A.T Schwarz memprakarsai pencarian Watu Pinawetengan. Setelah Hukum Besar Sonder Mayoor Albert Waworuntu dan Hukum Besar Kawangkoan Mayoor Warokka melihat maksud baik dari penginjil ini maka diadakan pencarian dan penggalian Watu Pinawetengan dengan bantuan Walian. Lalu penggalian dilakukan sepanjang 150 meter. Batu-batu yang ditemukan langsung diteliti. Pada hari kesembilan tanggal 19 Juli 1888 penggali di sebelah utara berteriak gembira "Kinamang ni Empung rengarengan! Wia mo si Watu ne-Opo Mahasa panero-neron! Eee he hoo!". Penginjil Schwarz merupakan orang luar pertama yang berada di Watu Pinawetengan tersebut.

Setelah bertahun-tahun tersembunyi, tahun 1938 batu tersebut ditemukan kembali oleh petugas kehutanan (Boswezen) Hindia Belanda bernama S. Moningka serta dilaporkan pada parlemen Minahasa (Minahasaraad atau Dewan Minahasa). Atas jasa anggota parlemen Minahasaraad Dr. Sam Ratulangi sehingga batu tersebut segera dibersihkan dari ilalang dan tanah pasir longsoran lereng Awuan yang menimbuninya.

Pada saat ditemukan kembali, kondisi batu tersebut masih berada di atas tanah. Saat diadakan pemugaran yang dilakukan oleh Gubernur Mantik, diadakan penggalian dengan menggali dan memotong punggung Gunung Awuan agar batu tersebut lebih berada di atas tanah. Namun, semakin digali semakin terperosok batu tersebut sehingga usaha penggalian batu itu dihentikan. Lokasi batu tersebut pada mulanya sejajar dengan punggung lereng Gunung Awuan. Pada saat sekarang ini lokasinya terbenam di bawah tanah sedalam 3 sampai 4 meter dari posisi semula.

Kesimpulan akhir yang didapatkan dari penjelasan di atas menunjukkan:
(1) bahwa pertemuan dan ikrar bersama orang Minahasa yang dilakukan di Watu Pinawetengan sudah terjadi beberapa kali, bukan hanya sekali saja.
(2) pembagian wilayah Minahasa dalam pertemuan awal di Watu Pinawetengan untuk membagi tanah Minahasa kedalam 4 bagian besar untuk teranak-teranak Toar-Lumimuut yaitu Tompakewa, Tompakewa, Tonsea dan Tumaratas, bukan ke dalam 9 sub etnis Minahasa dewasa ini. Suku Tondano, Tonsawang, Ratahan, Pasan, Ponosakan, Bantik bukan merupakan Malesung asli. Perbedaan yang ditemui antara lain dapat dilihat dari bahasa, warna kulit dan adat istiadat yang berbeda.

Bodewyn Talumewo
Pemerhati budaya Minahasa
Amurang, 26 Januari 2005
www.talumewo.8m.com

===================================================================
"Tabea Waya!
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan, kisah dan kedudukan kaumnya di sepanjang masa!
Minahasa adalah bangsa yang basar!
Karena itu hargai akang torang pe Dotu-dotu deng samua yang dorang kase tinggal for torang!
Pakatuan wo pakalawiren!
Sa esa cita sumerar cita, sa cita sumerar esa cita! Kalu torang bersatu torang musti bapencar, biar lei torang bapencar torang tetap satu!
I Yayat U Santi!"
===================================================================

2 komentar:

  1. mantap lengkap d web ini klo kita k manado torang bisa bakudapa kita mau lebih mengenal minahasa.

    BalasHapus
  2. Orang Mana nn Bode ?
    bkng Langowan Tempang ng,....

    BalasHapus