Bangsa Minahasa

Setiap bangsa yang ingin mempertahankan jati dirinya, harus menghargai warisan suci tradisi dan budaya dari para leluhurnya; Kita (bangsa Minahasa) harus memelihara dan mempertahankan tradisi dan budaya bangsa Minahasa dengan segenap kemampuan dan semangat, karena semangat itu sendiri tidak lain mengandung tradisi dan budaya Minahasa. (Dr. Sam Ratulangi: Fikiran - 31 Mei 1930)

Saya tidak akan mempermasalahkan apakah keberadaan bangsa kami Minahasa disukai atau tidak, karena itu adalah permasalahan teoritis. Bagi saya dan bangsa saya Minahasa, sudah jelas, bahwa kami memiliki hak untuk eksis.
Jadi, tugas kami adalah bagaimana menjamin kelanjutan eksistensi bangsa Minahasa ini, dan sedapat mungkin memperkecil penetrasi asing. Kami berusaha untuk merumuskan suatu tujuan yang sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan rakyat kami dalam menjalankan tugas tadi. Dan agar usaha-usaha kami itu dapat diterima dan dihargai, kita perlu mengenal hal-hal yang mendasarinya, yaitu: posisi Minahasa selama ini terhadap negara-negara sekitarnya.
("Het Minahassisch Ideaal" / Cita-cita Minahasa oleh DR. GSSJ Ratu Langie, ‘s-Gravenhage, Belanda - 28 Maart 1914)

Sabtu, 11 April 2009

HARI PERSATUAN PEMUDA GMIM

HARI PERSATUAN PEMUDA GMIM

Paskah kedua, 9 April 2007 yang akan datang, pemuda GMIM akan merayakan Hari Persatuan, yang ke 80. Ada yang menyebutnya sebagai Hari Ulang Tahun. Istilah terakhir merupakan perkembangan terakhir. Sejak awalnya istilah hati persatuan (yang dalam bahasa Belanda-nya: bondsdag) yang selalu dipakai. Penggunaan istilah ini memang berkaitan erat dengan sejarah munculnya perayaan itu, tetapi juga sejarah kehadiran Pemuda GMIM.

Sampai pada tahun 1920-an, organisasi pemuda dalam lingkungan Indische Kerk di Minahasa, lebih didominasi oleh kalangan pemuda-pemuda Belanda, hingga namanya juga dalam bahasa Belanda. Sekembalinya para pemuda yang belajar di Belanda, yang seperti juga banyak pemuda Indonesia lainnya, sudah dipengaruhi oleh semangat nasionalisme, maka muncul kesadaran adanya organisasi pemuda gereja yang betul-betul Minahasa. Maka di bawah kepeloporan tokoh-tokoh pemuda seperti Paul Tindas, W.J. Rumambi, dan sebagainya, di kampung-kampung muncul organisasi yang diberi nama “Serikat Pemoeda Masehi” (SPM). Dengan demikian di beberapa kampung terjadi dualisme dalam organisasi kepemudaan. Maka atas inisiatif tokoh-tokoh seperti DR. De Vreede, seorang pendeta muda asal Belanda, yang disertasinya berbicara tentang nasionalisme, diadakanlah upaya-upaya untuk mempersatukan organisasi pemuda itu, baik untuk mempersatukan dualisme, maupun mempersatukan organisasi yang masih bersifat lokal, menjadi organisasi yang meliputi seluruh tanah Minahasa. Puncak dari usaha ini, adalah pertemuan di pasanggarahan Wawali-Ratahan, pada paskah kedua tahun 1927 (?) saat mana dideklarasikanlah “Serikat Pemoeda Masehi”. Saya memberikan tanda tanya pada tahun 2007, sebab ada sumber lain yang mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi pada tahun 1928. Masih perlu diteliti mana yang benar. Tetapi yang sampai sekarang umumnya diterima adalah tahun 1927. Mungkin dengan menggali sejarah jemaat-jemaat di Ratahan, bisa ditemukan tahun persisnya.

Apakah tahun1927 atau 1928, kita peristiwa bondsdag itu memberikan indikasi kepada kita, bahwa kesadaran persatuan di antara para pemuda kristen, berlangsung bersamaan dengan munculnya rasa persatuan di antara pemuda di Indonesia, yang memuncak pada Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Artinya bondsdag itu sedikit banyaknya ada hubungan dengan Hari Sumpah Pemuda. Karena itu kita sekarang bisa mencatat betapa besar peranan pemuda gereja dalam membangkitkan rasa persatuan nasional, justru mulai dari lingkungan gereja.

Nama SPM kemudian berubah menjadi Pergerakan Pemuda Kristen Minahasa (PPKM). Di zaman PPKM ini, bondsdag tetap dirayakan, sehingga jelas sudah bahwa PPKM merupakan kelanjutan dari SPM. Dalam perjalanannya, PPKM, seperti juga SPM, masih merupakan organisasi kepemudaan yang tidak terintegrasikan ke dalam GMIM. Mereka memilih sendiri pengurusnya dan tidak menjadi bagian dari Majelis Jemaat, apalagi menjadi Penatua. Keadaan ini lama kelamaan disadari kurang menguntungkan baik bagi GMIM itu sendiri maupun bagi PPKM sendiri. Mereka melukiskan keadaan PPKM waktu itu bagaikan berada di halaman gedung gereja, tetapi tidak di dalam gedung gereja. Di tahun-tahun 60-an keinginan untuk menjadi semakin menjadi-jadi. Maka pada tahun 1966, diproklamasikanlah PPKM menjadi Pemuda GMIM. Lambang Pemuda GMIM yang pertama kali digunakan adalah tulisan Pemuda GMIM yang berada di dalam bangunan sebuah gedung gereja. Di tahun-tahun itu pula pihak Gereja mulai mengupayakan supaya organisasi kategorial itu seperti Pergerakan Kaum Ibu Kristen Minahasa (PKIKM) dan Pergerakan Kaum Bapa Kristen Minahasa (PKBKM), terintegrasi ke dalam struktur jemaat, dengan membentuk apa yang disebut Majelis Pergerakan Kristen, yang terdiri dari para Ketua ketiga organisasi tersebut, yang juga sudah menjadi Penatua.

Adalah Tatagereja 1970, yang digodok sejak 4 tahun sebelumnya, mengintegrasikan ketiga Pergerakan tersebut ke dalam tubuh Majelis Jemaat dengan nama Komisi Pelayanan Khusus yaitu Komisi Pelayanan Remaja & Pemuda., Komisi Pelayanan Anak, Komisi Pelayanan Wanita/Kaum Ibu dan Komisi Pelayanan Pria/Kaum Bapa. Sekedar menjadi penatua, ternyata kemudian dirasakan belum cukup untuk betul-betul bisa mengintegrasikan keempat Komisi itu ke dalam tubuh majelis jemaat. Sebab ternyata, keadaannya masih tetap sama dengan zaman Pergerakan yang seolah-olah masih berada di halaman gereja. Ada satu perkembangan di tahun 1978, ketika Badan Pekerja Sinode membentuk Bidang Pelayanan Khusus, dalam fungsi sebagai staf BPS, yang menangani keempat Kompelsus tadi. Lalu sejak Tatagereja 1981, para penatuan otomatis menjadi anggota Badan Pekerja Majelis Jemaat dan Badan Pekerja Wilayah. Alasan utama adalah agar aktivitas Kompelka itu betul-betul dapat dikontrol dan terpadu dengan Majelis Jemaat/Wilayah, jika mereka terlibat sampai pada level Badan Pekerja. Tetapi sementara itu di Badan Pekerja Sinode tidak otomatis menjadi anggota BPS. Namun dalam pemilihan anggota BPS di tahun 1982, Ketua Komisi Pelayanan Remaja & Pemuda GMIM, Pnt. Nico Gara, terpilih menjadi anggota BPS yaitu sebagai Sekretaris Departemen Pelayanan Khusus.

Menyadari bahwa tidak ada konsistensi antara apa yang terjadi di Jemaat dan wilayah dengan di Sinode, maka sejak Tatagereja 1990, Ketua Komisi Pelayanan Kategorial di Sinode otomatis menjadi Anggota BPS. Dengan demikian Departemen Pelayanan yang menangani Bidang Kategorial ini tidak diperlukan lagi. Hal itu berlangsung terus sampai kini di bawah Tatagereja 1999. Bagaimana dengan Tatagereja yang akan datang? Akankah kedudukan Pelayanan Kategorial semakin diperkokoh dalam integrasinya di forum pengampilan keputusan, ataukah akan kembali ke halaman Gereja? Mari kita cermati bersama.

Tomohon, 21 Februari 2007

Nico Gara


===================================================================
"Tabea Waya!
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan, kisah dan kedudukan kaumnya di sepanjang masa!
Minahasa adalah bangsa yang basar!
Karena itu hargai akang torang pe Dotu-dotu deng samua yang dorang kase tinggal for torang!
Pakatuan wo pakalawiren!
Sa esa cita sumerar cita, sa cita sumerar esa cita! Kalu torang bersatu torang musti bapencar, biar lei torang bapencar torang tetap satu!
I Yayat U Santi!"
===================================================================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar