Apa sebab masih perlu dibentuk Partai Lokal yang umpamanya disebut ’Partai Minahasa Raya’? Pertanyaan ini pasti akan muncul dibanyak kalangan orang Minahasa. Pertanyaan mungkin saja akan diajukan secara ’sinis’ bahkan ’negatip’ karena bagaimana mungkin sekarang ini kita dapat mendirikan suatu organisasi yang ‘berbau’ politis dan LOKAL, padahal selain di Aceh tidak ada UU yang mendukung suatu Partai Lokal. Lagi pula, masyarakat Minahasa sudah jenuh dan sedang ‘dibanjiri’ oleh puluhan organisasi partai politik yang semuanya bersifat nasional. Namun demikian, syukurlah kalau pertanyaan dapat juga diajukan secara kritis positip dan kreatip untuk lebih mengetahui latar belakang berpikir dari tawaran pembentukan Partai Lokal ‘Partai Minahasa Raya’.
Berikut ini adalah latar belakang berpikir penggagas untuk menawarkan pembentukan Partai Politik Lokal ‘Partai Minahasa Raya’ atau apapun namanya.
‘Think Globally and Nationally, but ACT Locally’; ‘Small can be strong, efficient and beautiful’.
Kedua kalimat bahasa Inggris tersebut adalah suatu pandangan yang popular dianut oleh kalangan sosiolog internasional yang mengamati perkembangan dan perjuangan eksistensi kelompok-kelompok masyarakat yang merasa tersisih.
Latar Belakang Sejarah.
Menurut buku desertasi David Henley (1996), gerakan Nasionalisme Etnis Minahasa yang modern (abad ke 20) mulai berkembang dengan terbentuknya organisasi ‘Perserikatan Minahasa’ di tahun 1909 di Jawa (Madiun) oleh para intelektual sipil dan tentara KNIL bangsa Minahasa, sebagai reaksi terhadap pembentukan gerakan politik bangsa Jawa dengan pembentukan ‘Budi Utomo’ pada tahun 1908.
Di tahun 1927, Sam Ratulangi bersama kawan-kawannya melanjutkan perjuangan ‘Perserikatan Minahasa’ dengan merobah nama ‘Perserikatan Minahasa’ menjadi ‘Persatuan Minahasa’ sebagai wadah organisasi politik Minahasa untuk memperjuangkan kepentingan Minahasa. Sam Ratulangi dkk waktu itu berada dalam suatu realitas wawasan berpikir lokal, nasional maupun global.
Wawasan berpikir Nasionalisme Indonesia dari Sam Ratulangi dengan pembentukan organisasi politik lokal ‘Persatuan Minahasa’ ia kembangkan bersamaan waktu dengan gerakan Nasionalisme Indonesia yang dipelopori oleh Sukarno dengan pembentukan Partai Nasional Indonesia [ PNI ] di tahun 1927.
Dalam harian Fikiran [31 Mei 1930] dan Nationale Commentaren [26 Nopember 1938] Ratulangi menulis tentang hubungan ‘Persatuan Minahasa’ dan Nasionalisme Indonesia sebagai berikut:
‘Persatuan nasional dari bangsa Indonesia adalah suatu persatuan politis. Kenyataan itu didasarkan pada kemauan politis untuk membentuk suatu persatuan bangsa dan negara yang berdaulat. Dengan mengakui dan menghormati akan perbedaan etnis dan budaya pluralitas bangsa Indonesia yang bersatu dengan segala konsekwensinya, kita semua harus menerima, menghormati dan berjuang untuk persatuan politis bangsa Indonesia tersebut --- Namun dilain pihak adalah suatu keharusan yang seimbang bahwa mereka(Indonesia) juga harus mengakui dan menghormati hak azasi dari tiap kelompok etnis untuk mempertahankan otonomi mereka dalam batas wilayah kelompok etnis tersebut --- Maksud utama dari ’Persatuan Minahasa’ adalah untuk menjaga keselamatan dan kesejahtraan tanah dan bangsa Minahasa. Kita tidak akan mengingkarinya, karena sikap tersebut adalah bagian mutlak dari jatidiri manusia yang bebas’.
Dari pokok pikiran tsb., maka dengan organisasi politik ‘Persatuan Minahasa’, Ratulangi dan kawan-kawan berjuang untuk kepentingan kesejahtraan tanah dan masyarakat Minahasa, baik dalam forum Minahasa Raad di Manado, maupun melalui forum Volks Raad di Batavia. Ternyata bahwa Ratulangi sangat kental dan cinta dengan akarnya Minahasa. Dan oleh sebab itu wawasan kebangsaan Indonesia dari Ratulangi, ia kembangkan berdasarkan ‘Nasionalisme Etnis Minahasa’. Dengan kata lain Ratulangi ingin mengatakan bahwa sebuah visi wawasan Nasionalisme Indonesia harus benar-benar berakar dari kepentingan suatu visi yang dibangun dari daerah [Minahasa] atau ’Visi Bottom Up’. Bila daerah kuat dan kokoh maka seluruh negara (Indonesia) pasti akan kuat dan kokoh, dan bukan sebaliknya. Wawasan nasionalisme Indonesia dan pembangunan Indonesia yang berwujud sentralistis [top-down] akan menjadi bumerang dan menghancurkan inisiatip dan kreativitas daerah; bahkan akan menghancurkan Persatuan/Kesatuan Indonesia yang disepakati dan dibangun bersama secara politis dan sukarela.
Dan sejarah bangsa-bangsa yang kuat, makmur dan maju pesat (a.l. AS, Jerman, Canada, Australia, Swiss, India, Malaysia) telah membuktikan kebenaran pemikiran Sam Ratulangi tsb. Bersamaan dengan wawasan nasionalnya dimana daerah harus mempunyai jatidiri dan kedudukan otonomi yang khusus dan luas, Ratulangi sebagai anggota Volks Raad di tahun 1928 sudah berbicara juga tentang perang Pasifik sebagai masalah internasional yang kemudian ia kembangkan visi dan pemikirannya dalam bukunya yang berjudul ‘Indonesia di Pasifik’ pada tahun 1937.
Sementara Sukarno dan lain-lain waktu itu sedang sibuk dengan nasionalisme Indonesia, wawasan berpikir Ratulangi sudah lebih luas tentang tantangan Pasifik bagi Indonesia. Dari Minahasa (Indonesia), yang menurut Ratulangi adalah pintu muka dari Pasifik, maka Pasifik menjadi lebih rieel bagi masa depan Minahasa. Visi globalisasi (universal) Ratulangi telah dipadukan dengan visi daerahnya (lokal) maupun visi nasional Indonesia.
Generasi Minahasa sekarang harus bertanya:
Apakah ROH JATIDIRI POLITIK SAM RATULANGI PADA MASANYA MASIH BERKOBAR SEKARANG INI DALAM HATI NURANI TOU MINAHASA?
Memang keadaan sekarang sudah sangat berlainan dengan keadaan jaman Sam Ratulangi. Tetapi inti persoalan yang dilihat oleh Sam Ratulangi sekitar 80 tahun yang lalu tentang perlunya ’Tanah dan Bangsa Minahasa’ mempunyai satu ROH gerakan politik yang dapat menjaga dan melestarikan eksistensi bahkan Jatidiri Bangsa Minahasa dalam suatu kontrak politik nasional ’Bangsa Indonesia’ sebagai suatu visi yang melihat jauh kedepan nampaknya sudah JAUH MEMUDAR sekarang.
Becermin atas keterpurukan /setback Negara dan Bangsa Indonesia
Mari kita analisa keadaan keterpurukan negara dan bangsa Indonesia sekarang sebagai salah satu kekhawatiran Sam Ratulangi pada waktu itu.
Di tingkat nasional tanda-tanda disintegrasi bangsa dan negara Indonesia makin lama makin nampak. Akibat pemerintahan yang otoriter dan tidak demokratis selama puluhan tahun orde lama dan orde baru, maka generasi yang berkuasa sekarang tetap saja tidak berdaya untuk menangani persoalan yang multi kompleks yang berlangsung dalam suatu negara Indonesia yang sangat plural. Tanda-tanda tentang keterpurukan Bangsa Indonesia tsb. adalah antara lain sbb:
Dalam era reformasi yang sudah berlangsung selama 9 tahun setelah jaman orla dan orba, maka pembusukan budaya korup tetap saja berlangsung dengan hebat, yang boleh dikatakan telah menghinggapi hampir seluruh lapisan masyarakat sebagai budaya Indonesia abad ke 21.
Kepemimpinan negara selama reformasi melalui 4 Presiden tidak dapat mengatasi kontroversi ancaman Ideologi Islam dengan segala ekses kekerasan/terorisme agama terhadap eksistensi Ideologi Pancasila. Partai-Partai berideologi Islam di DPR tetap berjuang (sampai kiamat?) untuk merobah dasar/ideologi Pancasila dengan Ideologi Islam. Di berbagai daerah tingkat dua sudah diadopsi pelaksanaan Syariat Islam. Kaum ’minoritas agama’ tetap saja merasa tidak aman dengan ’ancaman’ kaum mayoritas dengan ’kelompok radikalnya’.
Politik sentralisme (Jakarta dan Jawa) tetap belangsung dengan akibat fatal dimana Timor Timur telah berhasil merdeka, dan terus berlangsungnya gerakan-gerakan kemerdekaan baik di Aceh maupun di Papua. Untuk sementara pemerintah SBY telah melakukan kompromi dengan GAM, yang menawarkan suatu status otonomi khusus yang sangat menguntungkan Aceh dimana antara lain dibolehkan berdirinya Partai Lokal dengan akibat Gubernur Aceh terpilih akhir tahun 2006 adalah seorang anggota GAM. Dalan Negara Kesatuan ternyata sedang berlangsung politik anak mas dan anak tiri.
Undang-undang otonomi daerah No. 22 dan No. 25 tahun 1999 yang sudah direvisi di tahun 2004, juga telah berakibat fatal dimana hampir 500 daerah Kabupaten dan Kota tiba-tiba menjadi ‘raja kecil’ yang hampir tidak dapat dikontrol oleh Provinsi dengan segala macam akibatnya karena perimbangan keuangan tetap saja dikuasai oleh Pemerintah Pusat dan + 500 daerah otonom menjadi dareah ’pengemis’ ke Pusat di Jakarta
Selain dari itu, para elit politik dari semua Partai Politik Nasional masih sangat kental berorientasi kepada kepentingan kesejahteraan Partai Politik masing-masing dan tidak lagi berorientasi kepada kesejahteraan Rakyat. Akibatnya, budaya ’Money Politcs’ sangat merajalela sehingga ’Idealisme untuk Negara dan Rakyat’ menjadi pudar dan pupus diganti dengan budaya ’Pragmatisme dan Materialisme u/ Partai dan Pribadi’.
Masalah yang lebih parah lagi, adalah keterpurukan Indonesia dibidang Pendidikan dan Ekonomi akibat mental dan moral bangsa Indonesia yang terus ’brengsek’. Krisis ekonomi dan keuangan selama 9 tahun reformasi tetap saja berlangsung dimana kepercayaan internasional dengan penanaman kapitalnya tidak juga membaik. Akibatnya kemiskinan dan pengangguran bertambah parah luar biasa.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang seharusnya merupakan forum untuk kepentingan kesejahtraan dan pemerataan bangsa Indonesia di daerah2 ternyata sangat lemah, bahkan merupakan suatu Dewan yang ’ompong’ dan ’lumpuh’.
Bercermin kepada realitas Tanah & Tou Minahasa sekarang.
Dari keadaan nasional yang diuraikan diatas, kita di Minahasa / Sulut memperoleh dampak yang sama saja, karena kitapun di Minahasa tidak dapat melepaskan diri dari budaya mentalitas pembusukan yang berlangsung secara NASIONAL dari JAKARTA; bahkan hampir semua elit politik, elit pemerintah, elit hukum di Sulawesi Utara tidak mampu melakukan perobahan ’budaya mental pragmatisme dan materialisme nasional’ yang berbuntut kepada korupsi masal.
Dengan kata lain ROH JATIDIRI RATULANGI di Minahasa sudah memudar dan sebenarnya sedang berlangsung apa yang disebut ’bussiness as usual’ mengikuti ’dontji’ budaya Jakarta. Biarpun di Manado kelihatan perobahan yang mencolok dengan adanya kawasan Manado Boulevard yang ’WAH’ yang sangat konsumtif, tetapi ternyata hanya menguntungkan para pedagang ’kaum pendatang’ sambil memiskinkan etnis Minahasa di kampung2 termasuk Tionghoa Minahasa di kota.
Dibawah ini tercatat beberapa masalah ’ROH’ Minahasa yang perlu mendapat jawaban solusi yang lebih konkrit:
Ada kesan bahwa para wakil rakyat [tidak semua] di DPRD Propinsi maupun DPRD Kabupaten dan Kota, demikian juga para elit birokrat (tidak semua) terlalu sibuk dengan kegiatan-kegiatan insidentil jangka pendek seperti memperbaiki fasilitas pribadi serta membuat macam-macam Perda dan Retribusi pajak yang hanya memberatkan rakyat; ketimbang berjuang dengan idealisme tinggi untuk memberikan contoh konkret berupa perobahan sikap hidup sederhana dan hemat dengan etos kerja yang tinggi sebagai jatidiri Tou Minahasa masa lampau.
Selain dari itu, ada kesan pula bahwa para elit partai politik di daerah kelihatan lebih besar orientasinya (tunduk) kepada pimpinan Partai masing-masing di Jakarta ketimbang memperhatikan keadaan daerahnya Minahasa. Fragmentasi partai politik nasional sudah terlalu banyak dan pasti akan bertambah banyak lagi menghadapi Pemilu 2009. Dan hampir semua partai, pasti hanya berorientasi saja untuk kepentingan penguasa partai dan penguasa pemerintah di Jakarta.
Demikian juga wakil-wakil Sulawesi Utara di DPR, DPD memberikan kesan bahwa mereka masih sangat kurang memberikan masukan yang berarti bagi konstituen rakyatnya di Minahasa tentang apa yang sedang dikerjakan mereka di Jakarta. sebagai landasan membangun daerahnya maupun berjuang secara makro merobah sikap dan kebijakan Jakarta terhadap daerah.
Sudah terlalu sering dan lama diungkapkan secara terbuka di koran2 di Manado maupun dalam dialog2 formal dan informal bahwa penguasa Jakarta telah ’menyingkirkan’ Tou Minahasa dari ’kedudukan2’ strategis secara nasional, karena Tou Minahasa sudah hampir ’tersingkir’ dari posisi2 tertentu dalam kepemimpinan Partai2 Politik Nasional yang dominan (Golkar, PDIP).
Rakyat Minahasa / Sulawesi Utara yang telah memberikan suaranya dalam Pemilu 1999 dan 2004 yang lalu, sebagian besar sebenarnya masih menaruh kepercayaan kepada sistim partai politik dan elit pemerintahan di Minahasa / Sulawesi Utara untuk membenahi diri dengan memberikan perhatian penuh terhadap keadaan Minahasa / Sulut. Namun RAKYAT Minahasa pasti sudah ’kecewa’ dan ’kehilangan arah’ dengan semua partai politik nasional yang ada. Karena ternyata tidak ada wadah politik lain yang dapat menampung aspirasi ke-Minahasaan Rakyat untuk kesejahtraan kampung dan Rakyat Minahasa?
Khusus tentang peran pemuda dan mahasiswa Minahasa untuk menjaga dan mempertahankan keamanan dan perdamaian di Minahasa terhadap gangguan provokatip dari luar Minahasa, maka pembentukan kelompok-kelompok pemuda/mahasiswa seperti LC, MC, Brigade Manguni serta kelompok Korps Permesta dan Pemuda Permesta, patut diberi penghargaan karena masih besar cinta mereka terhadap Minahasa, namun sayangnya tidak ada wadah politik yang dapat menampung aspirasi kedaerahan mereka.
Phenomena pemekaran Tanah Minahasa menjadi beberapa Kabupaten dan Kota seperti dijaman Belanda waktu mana Minahasa terbagi dalam 7 Distrik (Wilayah Pemerintahan) adalah phenomena yang baik. Namun, dilemma yang dihadapi Minahasa dengan pemekaran kedalam beberapa Kabupaten dan Kota, adalah suatu bahaya fragmentasi dari tanah Minahasa sendiri tanpa adanya suatu gagasan untuk melihat dan berjuang bagi Minahasa secara utuh dalam bentuk Propinsi Minahasa umpamanya. Para penggagas Propinsi Minahasa dengan dasar pemikiran seluruh wilayah teritorial tanah Minahasa [termasuk Kota Manado dan Kota Bitung], harus diteruskan dengan semangat yang baru.
Dari pengalaman berpisahnya Gorontalo dari Propinsi Sulawesi Utara telah terbukti bahwa semangat budaya Sulut (Bohusami) tidak mempunyai akar historis maupun akar sosiologis yang kokoh untuk dilestarikan. Demikian juga sekarang ini daerah Bolaang Mongondow dan Kepulauan Nusa Utara tetap saja merasa adanya dominasi politis dan ekonomis dari Minahasa terhadap mereka, sehingga aspirasi pemekaran Propinsi Sulawesi Utara sudah juga dikumandangkan oleh Bolaang Mongondow dan Kepulauan Nusa Utara.
Dan last but not least, adalah tentang peran dan sikap Tou Minahasa yang berada / berdiam diluar tanah Minahasa yang menurut beberapa asumsi sudah berjumlah sekitar satu juta orang. Bagaimana nanti persepsi mereka tentang perjuangan politis, ekonomis maupun kultural tanah dan Tou Minahasa seperti yang pernah dilakukan oleh Sam Ratulangi dkk pada masa lalu? Wadah KKK dan Yayasan Kebudayaan Minahasa yang berkedudukan di Jakarta dan kota2 Surabaya, Balikpapan dan Makasar mengandung rencana untuk mengadakan suatu Kongres Nasional Kebudayaan Minahasa pada awal tahun 2009. Idee ini adalah suatu pertanda yang baik demi menggalang persepsi persatuan yang kokoh diantara Tou Minahasa dalam diaspora dan Tou Minahasa yang hidup di tanah Minahasa. Dengan kedua wadah tsb. perlu diteruskan dialog untuk lebih konkrit memberi isi kedalam Kongres Nasional Kebudayaan Minahasa berupa suatu ROH Politik Minahasa yang dapat memperjuangkan eksistensi dan pelestarian Jatidiri Minahasa.
Apakah Jawaban Konkrit Tou Minahasa sekarang?
Dengan memperhatikan keadaan nasional Indonesia dan keadaan regional [lokal] Minahasa seperti yang diuraikan diatas, maka untuk mempertemukan semua aspirasi yang sedang berkembang, dalam rangka menjawab ‘Idealisme ROH Minahasa’, maka gagasan dan ROH Perjuangan Sam Ratulangi dan kawan-kawan di tahun dua puluhan melalui organisasi politik ‘Persatuan Minahasa’ masih sangat relevan untuk dihidupkan kembali dengan pembentukan Partai Politik Lokal dengan nama umpamanya ‘PARTAI MINAHASA RAYA’ atau dalam singkatan ‘PMR’. ORGANISASI POLITIK ini dapat menjadi suatu ’embrio’ platform bersama dari semua kelompok, semua orang yang bergerak dan berdiam ditanah Minahasa [siapapun dia, asal dia komit 100% dengan tanah Minahasa] untuk memperjuangkan ROH Minahasa demi kepentingan pembangunan tanah dan orang Minahasa secara utuh. Berbeda dengan nama organisasi ‘Persatuan Minahasa’ bentukan Sam Ratulangi di tahun 1927, maka organisasi politik ‘PARTAI MINAHASA RAYA’ sudah harus lebih konkrit berbentuk suatu PARTAI untuk menjawab keadaan sekarang biarpun belum ada UU yang mendukung legitimasi Partai Lokal. Dan sudah pasti bahwa Partai2 Nasional tidak segampang itu akan menyetujui pembentukan Partai Lokal. Perjuangan nanti akan sangat berat.
Bagaimanapun juga maka akan diusulkan TIGA AGENDA UTAMA yang dapat diperjuangkan sekarang oleh Tou Minahasa, yakni:
1. Membentuk Embrio ’PARTAI MINAHASA RAYA’ sekarang juga dengan menggalang PERSATUAN diseluruh tanah Minahasa dan diluar tanah Minahasa melalui pembentukan komisariat disetiap kecamatan dan sub-komisariat disetiap kampung demi pembangunan dan kesejahtraan tanah dan masyarakat Minahasa dalam ikatan historis dengan bangsa dan negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Proklamasi 1945. Partai ini akan berjuang bersama semua komponen Minahasa yang ada (Anggota2 DPD, DPR asal Minahasa, DPRD, MAM, PM, KKK dan tokoh2 Minahasa lainnya untuk menggalang suatu jaringan nasional dengan daerah2 diseluruh Indonesia untuk merobah UU Kepartaian sekarang dengan mengadopsi legalitas Partai Daerah (Lokal).
2. Dalam rangka Pemilu / Pilkada pada tahun 2009 yad maka Partai Lokal Minahasa tsb. dengan semua komponen yang setuju segera memulaikan suatu perjuangan untuk melakukan amandemen perobahan UU Pemilihan yang dapat mengadopsi seorang CALON INDEPENDEN untuk turut dalam Pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota.
3. Dan yang ketiga, sebagai langkah perjuangan seterusnya, adalah agenda untuk pembentukan ‘PROVINSI MINAHASA’ yang mencakup seluruh tanah Minahasa secara utuh, bersamaan dengan ’PROPINSI NUSA UTARA’ dan ’PROPINSI TOTABUAN’. Provinsi Minahasa dapat dijadikan platform administrasi pemerintahan yang bersifat otonom khusus sebagai permulaan rakyat Minahasa berjuang secara mandiri demi kesejahtraan bersama.
I….. YAYAT…..UNSANTI !!!
Majelis Adat Minahasa (MAM) dan Persatuan Minahasa (PM)
Minahasa, 24 Mei 2007
---bas---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar